KESUMA

54 9 3
                                    

Sebuah legenda sepanjang masa. Termasyhur dari ujung timur bumi hingga ke bagian barat. Kisah legenda abadi Laila Majnun yang tersohor karna kesetiaan keduanya. Yang tak bisa bersatu karna terhalang adat istiadat yang bercampur keangkuhan.

Kali ini kisah itu terulang di bumi Melayu. Yang katanya berazam beradat berlembaga termasyhur keagungannya. Adat istiadat yang terkadang berselubung fakta masyhul nan tahyul. Jauh sebelum legenda Hang Tuah lahir dan sebelum bahtera lancang kuning karam. Kisah ini sengaja pula dihapus. Sengaja pula dilupakan kejadiannya. Mereka jiwa-jiwa perindu Sang Sukma.

Beberapa waktu di bulan rajab pertengahan abad 14 saat pemuda melayu masih lagak menegakkan tanjak di kepala. Ketika mereka sanggup beradu keris merebut si kembang bunga desa.

Awal saat angin musim barat bertiup kencang tanpa ampun. Memutihkan ombak yang tampak menggunung bergulung. Beberapa kapal tenggelam terhanyut ke terumbu karang di depan pulau Sanglar. Bahtera dari India, portugis, Temasik, bahkan dari Malaka semua kandas di gerus karang.

"Sudah aku kate, tak akan ade satu kapal yang sanggop melintas di depan pulau kite tu". Seorang tua melayu Wak Kasau berlagak bercekak pinggang membual tentang kapal Malaka yang tenggelam melanggar terumbu. Bahkan masih jelas bangkainya.

"Jadi Wak, ape harus kite buat ni ?". Kalau semue kapal tak sanggup melaut. Musim barat masih lame habisnye Wak". Dalih seorang nelayan muda yang sudah beberapa pekan tak dapat melaut.

"Kau mungkin tak percaye Udin. Dulu nenek moyang kite pernah juge dilande musibah macam ni".

"Habes tu wak". Bualan makin riuh. Bergelas-gelas kopi sudah tersaji namun kisah tahyul tak akan pernah habis dikisahkan.

"Kite butuh tumbal manusie". Wak Kasau berkilah dalam satu nafas.

"Astagfirullah. Musyrik tu wak!!". Mata Wak Kasau terbelalak melihat beberapa lelaki berkata demikian.

"Aku dah kate. Kau semue pasti tak percaye. Kite butuh tumbal hidup perempuan melayu".

Bualan riuh kini sudah makin di luar akal. Beberapa laki-laki tampak percaya ada juga yang ragu-ragu. Dan tentu saja perempuan yang mendengar naik berang amarahnya.

"Hei, Wak Kasau. Jangan banyak bual kau. Nanti mati di sambar kilat". Benar saja, Mak Cik Odah berteriak keras sambil menunjuk wajah Wak Kasau yang memerah.

"Sudah-sudah, kau tengok sajalah nanti!!!". Wak kasau berjalan pulang. Menyingsing lengan dengan amarah memuncak pada Mak Cik Odah.

"Mak, sudah mak. Malu didengar orang". Suara lembut itu dekat dengan Mak Cik Odah. Ia menarik Mak Cik mundur. Dia itu anak Mak Cik Odah. Bunga desa kampung. Gadis perawan idaman, dengan lekuk dan tubuh ranum bak bunga baru bermekaran.
Sri kesuma. Sungguh molek nama diberi.

"Kesuma!!. Ingat nak, jangan sampai satu orang pun laki-laki di sane tu jadi laki kau. Mak tak mau menantu macam tu. Paham !!!".

"Iye Mak, Kesuma paham".
"Cari macam arwah Bapak kau tu. Orangnye kacak, bersih, sopan santun". Sambung celoteh Mak Cik Odah.
"Iye Mak".Dengan senyum dan ketawa kecil Kesuma menganggukkan kepalanya.

"Ha, macam itu yang Mak mau buat menantu". Mak Cik Odah menunjuk ke sebuah sampan kecil yang baru saja merapat ke dermaga. Ia membawa udang dan beberapa ekor ikan naik. Namanya Damak.

SUKMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang