Bintang

66 26 14
                                    

Aku ingin menceritakan padamu tentang ribuan bintang yang saling bertemu.
Tentang jarak mereka yang kelihatan hanya setengah spasi.
Padahal terpisah ribuan cahaya gradasi.
Taukah kau, di mataku sabuk orion tampak seperti busur yang siap memanah dadamu.
Ribuan bintang berganti mencuri kesempatan ingin mencuri senyummu.
Atau bintang yang menunduk kalah lalu jatuh menunduk padamu.
Tapi ada sepasang bintang yang tampak lebih terang, Ia membentuk rasi melengkung setengah bulan sabit.
Memisahkan tiga titik segitiga lalu bersatu lewat sudut-sudut lengkung cahaya.
Gugusan yang hanya akan nampak oleh mataku.
Yang ku sematkan di tiap sudut wajahmu.
Kau bintang yang bersinar dalam satu galaksi.
Namun sayang, jarak kita terpisah jutaan cahaya gradasi.

                                ***
Kita berdua melangkah hati-hati. Memijak genteng dengan langkah berjingkat. Kebiasaanmu yang satu ini bisa membunuhku kapan saja. Bagaimana tidak, setiap kencan kau mengajakku memanjat atap lantai dua rumahmu. Lalu kau suruh aku turun lewat pohon mahoni yang tumbuh tegak di samping rumahmu.

Membayangkan kita duduk berdua di bioskop memandang layar besar yang memainkan film Galih dan Ratna yang lagi unyu-unyu jatuh cinta. Ah, jauh sekali khayalan itu. Atau membayangkan kita duduk berdua di restoran atau cafe. Ah, Makin jauh !!!!..

Kau itu langka. 1 diantara 100. Tapi itu yang membuatku jatuh cinta padamu Dina.

"Kiyan, sini". Kau menarik tanganku lalu membuatku terduduk di sebelahmu.

"Dina, lain kali cari hobby lain ya ."

"Knapa ?." Kau mengernyitkan alismu. Lucu sekali.

"Kiyan, lihat itu ."Dina menunjuk ke arah beberapa bintang yang bersinar paling terang.

"Ya, aku tau memang indah ." Jawabku memandang wajahnya yang masih saja memandang langit dengan sekali dua kedip.

"Itu namanya sabuk Orion ."Aku masih saja memandang wajahmu. Sejak awal kau memandang langit lalu kau memuja-muja bintang yang bagiku kaulah yang lebih terang.

"Akan ku pilihkan kau satu bintang. Akan ku namakan dengan namamu "Bintang Dina ."Kalimatku membuat matanya berkedip sesaat lalu mengalihkan pandangannya padaku.

"Jangan Kiyan. Jangan kau menamakan aku dengan sesuatu yang tak bisa kau gapai ."

"Tapi, bukankah kau menyukai bintang?. Sama seperti sabuk Orion itu ." Aku membalas dengan menunjuk bintang yang aku sendiri tak tau mana sabuk Orion.

"Kau tau Kiyan, Orion itu jiwa yang hilang karna cintanya pada seorang putri. Ia harus dibunuh karna cintanya. Kau mau aku jadi seperti itu Kiyan?."

"Tidak Dina, aku tak mengerti apa pun tentang bintang-bintang kesukaanmu. Yang ku tau bintang pujaanku sudah membentuk pada wajahmu. Rasi-rasi yang hanya bisa terlihat olehku ."Dina tersenyum, ia menggenggam tanganku erat.

"Terima kasih Kiyan ." Lalu kau bersandar di pundakku dan kita saling menunjuk beberapa bintang dan menamainya dengan nama kita. Kau bilang, jika aku menamaimu dengan bintang. Aku juga harus menjadi bintang sepertimu.

"Ternyata kencan di atas atap tak begitu buruk ."

"Udah malam, pulang ya ."

"Lewat pohon ? .  "Dina hanya tersenyum. Petanda membenarkan.

"Iya, hati-hati. Sampai ketemu besok ."

Aku pulang dengan memesan ojek online yang seragamnya hijau yang kalau lagi berkumpul akan terlihat mirip seperti Shrek pakai helm lagi demo.

Sampai di depan rumah saat aku baru saja mau masuk ku lihat bintang jatuh dalam sekedip mata. Dan setiap melihat bintang. Dina lah yang selalu muncul dari bayanganku.

"Darimana Kiyan??!! ." Suara Mama terdengar tegas di ujung kalimatnya saat aku baru saja selangkah memasuki rumah.

"Dari rumah Dina Ma. Dia titip salam ."

"Kiyan ingatlah nak ."

"Aku capek Ma. Aku istirahat dulu ." Aku tau apa yang ingin dikatakan Mama. Berkali-kali selalu mendebatkan hal yang sama.

"Kiyan !!!!. Dengarkan Mama. Sadarlah Kiyan. Dina sudah tidak ada!!! . " Suara Ibuku berteriak keras. Bercampur suara tangis yang hampir pecah.

"Ma, Dina masih hidup Ma!! ." Aku menatap mata Ibuku yang memerah.

"Mama Mohon Kiyan. Mohon dengan sangat!!!. Sadarlah Nak !! . " Ibuku bersimpuh. Pasukan air matanya tumpah ruah.

"Aku harus bagaimana Ma? ."
Mama hanya diam. Ia kehabisan kata.

Sebulan yang lalu

Dina memandang keluar jendela rumah sakit. Ie tersenyum memandang langit biru putih yang cerah. Sesekali ia mengangkat tangannya seolah ingin menggenggam awan yang berbentuk abstrak.

"Dina, kapan terakhir kali aku memujimu cantik? ."

"Ah, Kiyan. Sudahlah, kau selalu saja begitu. Memuji ini itu padahal kan aku memang cantik ."Jawab Dina dengan senyumnya yang manis sekali.

"Kau sudah minum obat Dina."Aku duduk di sampingnya.
"Sudah." Lalu Dina melihat keluar jendela lagi. Memandang awan yang tampak sangat dekat. "Kiyan, itu awan Cumulunimbus. Mungkin nanti malam akan hujan."

"Oh ya, kalau itu awan apa?." Aku menunjuk bentuk awan yang memanjang ke atas. Dina terdiam, berfikir sejenak.

"Ehmm-."

"Itu awan kelinci." Dina tersenyum saat kupotong kalimatnya.

"Kiyan, kau tau kan besok aku akan dioperasi."

"Ya, aku tau."

"Aku ingin kau melakukan satu hal apa pun hasil operasinya."

"Operasi itu pasti sukses Dina. Aku sangat yakin." Aku memegang tangannya meyakinkan.

"Ku harap juga begitu. Tapi apa pun hasilnya aku ingin kau melakukan satu hal Kiyan."

"Apa itu?."Aku seperti tak punya pilhan lain selain bertanya apa keinginannya.

"Aku ingin sekali kita duduk lagi di atas atap rumahku. Menunjuk bintang-bintang dan mencari sabuk Orion."Aku tersenyum mendengar permintaannya.

"Ya, pasti akan ku lakukan."

Ternyata benar, awan Cumulunimbus benar-benar mendatangkan hujan malam itu. Hujan lebat dengan beberapa suara petir dan kilat.

Namun, aku tak pernah tau kalau hujan itu ialah hujan terakhir buat Dina.

Operasinya gagal. Tranplantasi jantung yang dilakukan tak berhasil. Pikiranku kacau. Bermacam bisikan mulai bermunculan satu per satu.

Kaca jendela rumah sakit masih berembun. Suara hujan masih terdengar rintik-rintik. Aku masih juga memandang sebuah ranjang putih kosong.

"Kau ke mana Dina??." Bisikan itu terus bermain di kepalku berulang-ulang.

Lalu seseorang datang mendekatiku. Berpakaian putih dengan rambut terurai ke samping. Ia tersenyum lembut ke arahku.

Itu Dina!!. Ya itu Dina.

"Dina, kau kemana?." Aku menggenggam erat tangannya tapi ada sepatah kata pun jawaban. Ia tetap saja tersenyum.

"Jangan pergi lagi Dina!!." Genggaman jemariku lepas. Dina mulai melangkah menjauh. Langkah yang tak bisa aku ikuti. Aku diam menangis sendiri. Benar-benar sendiri.

                                   ***

Aku ingin menjadi seperti langit bagimu.
Saat membiru bersih tak berbercak awan sama sekali. Bentuk yang kau katakan dulu sangat mirip dengan kepala kelinci yang kadang perlahan berubah pecah lalu tak beraturan lagi.

Kadang juga jari-jarimu menunjuk awan kelabu yang menunduk padamu. Perlahan warna biru mulai takut dan matahari mulai bersinar ragu-ragu.

Aku ingin duduk berdua denganmu. Lalu mendengarkan perihal cerita langit satu per satu sambil melihat bentuk awan yang memantul dari matamu. Bahkan setelah langit gelap. Kan ku temani kau hingga lelap.

SUKMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang