Rumah Ibu

30 3 0
                                    

Dua puluh lima tahun sudah aku beralamat di rumahmu, rumah yang setiap pagi kugosok, kubelai, kujilat, kupeluk, dan ku kecup

Rumah tempat aku bersembunyi ketika halilintar menghujam atau hujan deras membekukan kulitku.

Rumah tempat aku menyeka peluh ketika matahari enggan bersahabat denganku. Ketika terik menguras keringatku

Rumahmu bukan berlian mewah, dia hanya kesederhanaan yang nyaman. di sanalah tempatmu memasak dan aku menunggu di ruang tv 14 inci yang mungil. Aku berselonjor kaki di muka tv dengan intipan mata ke arah dapur berharap semoga makanan cepat datang atau kau berteriak memanggilku untuk segera mengambil nasi dan bergegas segera makan karena perutku sudah tak sabar lagi menerima panasnya sop ayammu yang lezat itu

Sayur sop ayammu yang lezat mengundang air liur menetes dari ujung bibirku, tapi dirimu masih akrab dengan dunia dapurmu.

Adikku yang masih sebiji masih memegang ujung kain dastermu. dia tidak mau beranjak dari kain dastermu yang bau masakan. Berkali-kali ibu menyuruhku membujuknya agar sama-sama di depan tv nonton si Unyil kesukaanku. Tapi usaha itu tak berhasil. Adikku tetap setia dengan pegangannya pada ujung daster ibu. Baginya ibu adalah harta terbesar sehingga tak boleh terlepas

Sayur sopmu akhirnya selesai juga dan aku melompat ke udara saking senangnya. Tapi, guci kesayangan ibu yang berdiri menyesakkan ruang keluarga tepat di sampingku tersenggol oleh pantatku saat berteriak hore sambil melompat dan hancurlah dia bersama suara pecahan guci yang menyulut ibu berteriak. Nafsu makanku hilang seketika dan aku duduk memojok takut kena marah ibu.

Aku tidak jadi makan sop ayam. Aku mendekam di kamar setelah lama memojok, ibu membujukku untuk segera makan dan aku tidak mau karena malu dan nangis dengan bentakan ibu. Akhirnya aku pindah ke kamar ukuran 2,5 m x 2,5 m yang kucinta dan aku tertidur pulas setelahnya, laparku hilang

 Jemari HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang