[5] Keluarga Fairis dan Keluarga Raisa

108K 6.9K 56
                                    


Raisa menatap sendu layar handphonennya, ia berniat untuk mengabari Jihan perihal perjodohannya dengan Fairis. Ia ingin memberitahukan bahwa dia sudah menerima perjodohan itu.

Me: Ji...

Semenit kemudian, barulah handphone milik Raisa bergetar, menandakan ada pesan baru.

Jiji: Ya? Oh iya, gimana hasil keputusan lo? Jangan bilang lo nerima perjodohan itu?

Dengan berat hati, Raisa mengetikkan sesuatu hal yang ia sendiri sebenarnya enggan untuk ia ungkapkan.

Me: Tapi sayangnya, iya. Gue dengan bodohnya nerima perjodohan sialan itu. Ji... gue harus gimana?

Jiji: Gimana apaan maksud lo? Ya lo harus nerima semua ini. Yakin aja deh, Ca. Semua ini bakal ada hikmahnya. Entah itu di kehidupan lo kedepannya. Allah, tau kok yang terbaik buat lo, termasuk dengan kehadiran kak Fairis dihidup lo.

Raisa mengamati setiap kata yang tertera di layar handphonenya.

Ini beneran Jihan? Enak banget ya ngomongnya? Coba dia di posisi gue. Mungkin urusannya lebih berabe. Batin Raisa kesal.

Dengan cepat, Raisa mengetikkan balasan kepada Jihan.

Me: Huh! Enak banget ya lu ngomong. Gue disini merana sendiri tau! Hiks... Etapi bener juga, gue bakalan coba nerima kehadiran kak Fairis di hidup gue. Huhft, gue tau bakal nggak gampang.

Jiji: Trus trus... gimana? Kapan lo nikah? Hahaha...

Me: Nikah pantat lo! Gue belom kepikiran sampe kesana. Gue mau ngenal kak Fairis dulu.

Jiji: HAHAHA! Santai, buuuuuu. Menurut lo, gimana cara lo mau pdkt sama kak Fairis? Dia kan anak ustad! Mana mau dia pdkt-pdktan selayaknya anak-anak zaman now.

Raisa membenarkan ucapan Jihan. Bagaimana cara dia bisa melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan Fairis? Mengingat cowok itu berstatus sebagai anak ustad, dan mungkin saja menolak mentah-mentah jika Raisa ingin melakukan pendekatan ala-ala anak muda zaman sekarang.

Raisa kemudian mengacak rambutnya frustasi. "Besok aja deh gue mikirnya, pusing sendiri gue jadinya." Gumamnya frustasi.

***

Fairis baru saja akan berangkat ke kampus untuk melanjutkan proposalnya yang sempat tertunda kemarin, namun suara abinya tiba-tiba menghentikan niatannya itu.

"Ris, mau ke kampus?"

"Iya, Abi. Ada urusan sebentar, proposalku sempat aku tunda kemarin karena harus ke rumah Raisa. Kenapa, Abi?"

"Tidak apa-apa, Nak. Setelah pulang dari kampus, kamu langsung pulang ke rumah, kan? Abi mau ngomong sesuatu."

Fairis mengernyitkan keningnya, "Ngomong sekarang aja, Abi. Takutnya nanti Fairis pulangnya kelamaan lagi."

Abi Fairis tersenyum menanggapi ucapan anaknya. "Tidak apa-apa, Nak. Urus aja dulu proposalmu. Abi akan menunggu. Jangan dipikirin loh, ya. Fokus aja sama proposalmu. Nggak usah terburu-buru."

Fairis mengangguk mengiyakan ucapan abinya. Ia kemudian mencium punggung tangan abinya dan bergerak ke dapur untuk pamit dengan uminya.

Di dapur yang tidak terlalu besar itu sudah ada uminya yang tengah disibukkan dengan beberapa wortel yang dipotong-potong berbentuk dadu, ditemani dengan Aisyah –adik Fairis yang masih berumur tiga tahun yang duduk diatas meja. Ia tengah mengunyah agar-agar berbentuk macam-macam hewan. Kedua pipi Aisyah yang memang sudah tembem jadi tambah menggemaskan karena ia tengah mengunyah agar-agar dengan sangat pelan dan terkesan menghayati. Fairis tersenyum geli melihat tingkah adik bungsunya itu, dengan gemas ia mencubit kedua pipi Aisyah. Aisyah memberenggut dengan sebal dan berusaha menggapai abangnya. Fairis kemudian membawa Aisyah kedalam gendongannya, uminya yang melihat tingkah anak sulungnya itu hanya bisa menggeleng pelan.

"Ris, mau ke kampus?"

"Iya, Umi. Ini Fairis mau berangkat."

"Aisyanya mau dibawa ke kampus?"

"Hehehe, nggak kok, Umi. Cuma mau gendong Aisyah aja, kangen sama Adek yang satu ini." ucapnya sambil mencubit dengan gemas pipi kanan adiknya.

"Abaaaaaang! Cakiiiiit!"

"Ris! Udah deh. Ke kampus gih! Dari pada gangguin adeknya."

Fairis terkekeh pelan dan kemudian menurunkan Aisyah dari gendongannya. Ia kemudian mencium kedua pipi adiknya itu lalu beralih mencium punggung tangan uminya.

Fairis mengedarkan pandangannya seperti mencari sesuatu, "Ngomong-ngomong Fatih mana, Umi?" Fatih adalah anak kedua setelah Fairis, dan saat ini sudah duduk di bangku kelas tiga SMP.

"Oh, tadi pagi-pagi sekali dia sudah berangkat bareng Dika. Katanya dia dapat piket membersihkan kelas."

"Oh, gitu. Ya udah, Fairis pamit ya, Umi."

"Dadah abaaaang, dadaaaah dadaaaa daadaaaah..."

***

Raisa dengan cekatan mengikat rambut sebahunya tinggi-tinggi dengan asal-asalan, sudah pukul tujuh lewat tiga belas menit dan itu pertanda buruk bagi Raisa. Pasalnya, today is Monday. Dan kalian tahu kan, senin bagi sebagian murid adalah hari yang sakral. Entah mengapa, setiap hari senin Raisa merasa beban hidupnya bertambah karena ia harus dibuat terburu-buru, dan Raisa benci itu. Belum lagi, dia harus berpakaian lengkap untuk mengikuti upacara. Berkali-kali Raisa mengumpat kesal, karena kaos kaki kanannya tidak juga ia temukan.

"Ibuuuuuuuuu.... kaos kaki Raisa yang sebelah kanan mana yaaaa?"

Ratih yang melihat tampang adiknya itu menggeleng pelan, "Heh, upil badak! Udah gede juga masiiiih aja suka lupa naro kaos kakinya di mana. Buset dah!"

Raisa memberenggut kesal mendengar ucapan kakak sulungnya. "Ya deh iya, bantuin nyariin dong, Mbak!"

"Ogah!"

"Ayaaahhh! Mbak Ratih tuh, ngeselin banget, ish!"

Denis menggeleng pelan melihat tingkah kedua anaknya itu. "Sudah, sudah. Raisa, udah cari di bawah ranjang belum?"

"Oh, iya!" Raisa lari terbirit-birit menuju kamarnya, dan beberapa menit kemudian ia kembali dengan kaos kaki di tangan kanannya.

"Ayah, Ibu. Serius udah mau nikahin Raisa yang masih labil ini? Gimana mau ngurus suaminya kelak kalau kaos kakinya aja nggak bisa diurus."

"Hahahaha... biarin dia kewalahan ngurusin suaminya." Kali ini Reza yang angkat bicara. Ya, walau Raisa tahu Ratih dan Reza itu kakaknya yang luar biasa ngeselin, tapi di balik semua itu mereka berdua sangat sayang sama Raisa. Ratih mau pun Reza sengaja membuat Raisa kesal dengan tidak membantunya melakukan semua hal –termasuk membantu mencari kaos kaki Raisa yang tidak tahu disembunyi di mana, tujuannya hanya agar Raisa bisa mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain.

Raisa mendengus dengan kasar kemudian menyambar segelas susunya dan menenggaknya dengan cepat. Tanpa memperdulikan ocehan kakak perempuannya itu, ia segera mencubit pipi April dengan keras sampai balita yang berusia satu tahun itu menangis dengan kencang.

"Dek! Awas kamu ya, bikin April nangis!"


Raisa berlari tanpa memperdulikan kakaknya yang sudah pasti sudah memberinya sumpah serapah. "Hahahaha.. siapa suruh cari masalah sama Raisa

Kekasih Halalmu [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang