[11] Kado untuk Raisa

105K 6.4K 126
                                    

Tiga puluh menit yang lalu, para tamu undangan telah bubar dan kembali ke kediaman masing-masing.

Dan di sinilah Raisa, di kamar Fairis. Ia menatap sekeliling kamar yang bercorak putih bercampur biru dongker itu dengan seksama. Wangi mint memasuki indra penciumannya. Raisa akui, wangi itu begitu menenangkan.

Raisa melirik jendela kaca yang memantulkan dirinya. Baju kebaya dan hijab yang dikenakannya masih melekat di tubuhnya. Ia masih enggan untuk melepasnya.

KRIEET

Bunyi yang berasal dari pintu yang didorong itu kemudian mengalihkan pandangan Raisa. Dari balik pintu itu, berdiri sosok lelaki yang beberapa waktu lalu telah sah menjadi suaminya.

Fairis dengan baju kaos putih dan celana kargo sebatas lutut berwarna hitam. Handuk yang tadinya tersampir di lehernya kemudian digunakan untuk mengusap rambutnya yang basah. Intinya, Fairis terlihat lebih fresh setelah mandi. Sementara Raisa masih setia dengan gaun serta make up yang masih menempel.

"Mandi gih, biar seger." ujar Fairis dengan nada lembut.

Raisa bergeming, ia masih menatap Fairis dengan tatapan yang sulit diartikan. Fairis mengerutkan keningnya melihat Raisa masih diam tak bergerak. Ia pun melangkahkan kedua kakinya, dan mendekati istrinya itu. Handuk yang tadinya dipakai untuk mengeringkan rambutnya, kembali digantungkan di lehernya.

Ketika tepat berada di hadapan Raisa, Fairis memegang kedua pipi istrinya itu. Ia menatap kedua mata cokelat Raisa yang memantulkan dirinya, kemudian beralih memegang ujung jilbab yang dikenakan Raisa. Raisa refleks memegang kedua tangan besar Fairis.

"Ka-kakak mau ngapain?" ucap Raisa dengan gugup

Fairis tersenyum lembut, kemudian mencubit kedua pipi Raisa.

"Aku mau bantu kamu lepas jilbab ini. Nggak gerah apa?"

"U-umm, a-aku bisa sendiri kok, Kak." Setelah mengucapkan kalimat yang terbata-bata itu, Raisa kemudian berlari menuju kamar mandi, sementara Fairis tersenyum geli melihat tingkah lucu Raisa.

•••

Sepuluh menit berlalu, dan Raisa masih enggan untuk keluar dari kamar mandi. Alasannya karena ia masih terlalu canggung untuk menghadapi Fairis.

Raisa menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya masih menyisakan titik-titik air sehabis keramas. Ia menghela nafas pelan kemudian menatap pintu kamar mandi dengan tatapan yang sedikit ragu –antara mau tetap di kamar mandi atau keluar dan bertemu langsung dengan Fairis. Tapi Raisa sadar bahwa ia tidak bisa terus-terusan menghindar dari suaminya itu.

Raisa kemudian berjalan mendekati pintu kamar mandi, baru saja Raisa memegang kenop pintu, suara dari luar kamar mandi yang tak lain dan tak bukan adalah suara Fairis membuat Raisa mengurungkan niatnya membuka pintu itu.

"Raisa? Ngapain di dalem? Keluar gih. Jangan lama-lama mandinya."

Raisa meneguk salivanya dengan susah payah, mau tidak mau ia menuruti perintah Fairis. Ia kini menekan kenop pintu dan ketika pintu itu sudah terbuka lebar, tampak Fairis masih berdiri di depan kamar mandi dengan tatapan... khawatir?

Raisa mengernyitkan jidatnya. "Kak Fairis kenapa di sini?"

Fairis mendengus pelan. "Nungguin istri aku yang lama banget di kamar mandi. Kirain kamu kenapa di dalem."

Kedua pipi Raisa memerah mendengar kata 'istri aku' yang keluar dari mulut Fairis.

"Oh, hehe. Maaf ya, kak. Udah bikin kakak khawatir. Aku ka-kalo mandi emang la-lama. Hehe" Raisa berusaha mencairkan suasana dengan melontarkan sedikit lelucon. Sebenarnya itu tidak pantas di katakan lelucon, mengingat setiap kata yang dia ucapkan sama sekali tidak ada unsur lucunya. Tapi biarlah, yang penting bisa sedikit mencairkan suasana.

"Hum. Lain kali mandinya jangan lama-lama ya. Nggak baik."

Raisa mengangguk pelan kemudian berjalan menuju ranjang. Fairis mengikuti langkah Raisa yang kemudian mendudukkan dirinya di pinggiran kasur, Fairis pun ikut duduk di samping Raisa. Ia kemudian menggenggam tangan kiri Raisa menggunakan tangan kanannya. Tangan Raisa terlihat begitu kecil berada di genggaman tangan besarnya. Tapi entah mengapa, Raisa merasa nyaman dalam genggaman tangan Fairis.

"Raisa. Aku mau kamu coba pake jilbab kalau keluar rumah, ya?"

Raisa terdiam sejenak, ia merasa belum siap mengenakan jilbab untuk sehari-hari. Membayangkannya saja sudah bikin dia risih. Tidak terbayang jika setiap saat dia harus kipas-kipas karena kegerahan memakai jilbab.

"U-umm, ta-tapi Raisa belum siap, Kak."

Fairis kemudian tersenyum lembut lalu mengelus dengan pelan punggung tangan Raisa. "Jilbab itu kewajiban, Sa. Apalagi kamu udah baligh."

Raisa diam-diam menghela napas pelan, mencoba menimbang-nimbang permintaan Fairis. "Emmm..., nanti Raisa coba deh, Kak."

Meskipun sedikit ragu, Raisa mencoba mengiyakan permintaan Fairis. Toh perlahan-lahan dia juga akan terbiasa. Ya, masih ragu. Ah, entahlah. Itu urusan belakangan.

"Ya udah kamu istirahat aja ya. Aku masih ada keperluan di bawah." ujar Fairis yang kemudian memutuskan untuk keluar.

Sebelum Fairis benar-benar menghilang dari balik pintu kamar, cowok itu kemudian kembali dengan cengiran yang membuat Raisa menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Kenapa Kak?"

"Wait..." Fairis tampak serius mengutak-atik laci nakas. Beberapa menit kemudian, ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna ungu tua. Raisa kemudian mengernyitkan keningnya ketika Fairis menyodorkan kotak itu pada Raisa.

"Hadiah untuk istri aku, barakallah fii umrik." ujar Fairis kemudian mengecup singkat kening Raisa sebelum berlalu tanpa menunggu ucapan yang keluar dari bibir istrinya itu.

Raisa ternganga beberapa detik, mecoba mencerna kejadian di mana Fairis mengecup singkat keningnya. Ia kemudian beralih menatap kotak berwarna ungu yang ada di pangkuannya. Penasaran, Raisa meraih kotak itu kemudian membuka pita berwarna abu-abu yang menghiasi kotak itu.

Setelah membukanya, terdapat secarik kertas dengan berisikan tulisan tangan yang Raisa yakini merupakan tulisan tangan Fairis. Ia kemudian mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya.

Untuk istriku,

Raisa.

Aku tahu, ini mungkin hadiah yang sangat simpel untuk dijadikan sebagai hadiah. Tapi aku berharap hadiah ini bisa menjadi pelindungmu dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Lelaki yang mengganggumu, misalnya.

Karena aku tahu, aku tidak selalu berada di sampingmu, menjagamu. Tapi ketika kau berubah menjadi yang lebih baik, yakinlah bahwa Allah SWT selalu berada bersamamu.

😘

Dari,

Suamimu

Suamimu? Suamimu? Suamimu?

Beberapa kali Raisa mengulangi kata 'suamimu' di kepalanya. Dan hatinya seketika menghangat. Raisa bingung mau mengartikan apa kado pemberian Fairis itu. Apakah suaminya itu berusaha bersikap romantis kepadanya? Entahlah. Yang pasti, Raisa merasa sedikit tersipu.

 ***

P.s : cek typo

IG : windyharuno & windyaruno_stories

Kekasih Halalmu [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang