Samsak itu bergerak maju mundur kala sebuah tangan memukulinya. Tangan mungil itu memukuli Samsak dengan sekuat tenaga. Seolah menyalurkan apa yang ia rasakan. Ini memang yang selalu ia lakukan. Mengeluarkan emosinya dengan positif. Tanpa melukai siapa pun. Biarkan dia saja yang terluka. Sekalipun tak jarang tangannya memar dibuatnya.
Tangan yang luka tak jadi masalah baginya. Namun hati yang selalu saja terluka membuatnya semakin terpuruk.
Dengan pakaian taekwondo lengkap dengan jilbab yang ia ikatkan ujungnya pada belakang leher. Gadis itu terus memukuli Samsak tanpa merasakan lelah. Matahari yang kian mulai beranjak tak ia perdulikan. Padahal secara langsung tubuhnya dapat di terpa teriknya panas matahari. Ia berada tepat di belakang rumahnya. Di samping bangunan yang biasa di gunakan ayahnya untuk mengajar ngaji.
Pikirannya terus saja melayang ke kejadian yang lalu. Ia bosan. Sangat bosan. Kenapa ia harus seperti ini.
Sampai sebuah suara mengganggu konsentrasinya. Ia sedikit menolehkan kepalanya.
Setelah melihat siapa yang berbicara. Ia kembali fokus terhadap samsak yang berada di depannya. Seolah tidak perduli dengan keberadaan dua orang itu.Baru saja ia ingin menendang samsak itu dengan kakinya. Suara Farhan terdengar. "Dek." seolah mengintrupsi Zidna untuk berhenti. Farhan duduk pada lantai bangunan yang tepat berada di sisi kiri Zidna berada.
Zidna mendengus kesal. Kakak laki-lakinya itu memang hobi sekali menganggunya. Zidna memutar tubuhnya ke arah pintu masuk rumah sambil melepas ikatan ujung jilbab yang ia kaitkan tadi. Berlalu begitu saja tanpa memperdulikan nasib samsak yang ia tinggalkan.
"Zidna masih suka latihan taekwondo ya mas?" Zakki menoleh ke arah Farhan, setelah Zidna hilang di balik pintu.
"Sekarang udah jarang, cuma kalau lagi ada masalah pasti larinya sama samsak itu." Farhan menunjuk samsak yang masih menggelantung di depannya.
Zakki mengganggukan kepalanya. Ternyata Zidna masih seperti dulu.
***
"Habis isya' bisa gantiin ibu ngisi pengajian dek?" Suara bu Ratna terdengar. Beliau melangkah masuk kamar Zidna.
"Dimana bu?"
Sebenarnya Zidna enggan. Kondisinya saat ini sedang tidak baik. Bagaimana bisa ia mengisi pengajian. Namun ia tidak dapat menolak permintaan ibunya.
"Di masjid komplek, pengajian rutin malam rabu sama ibu-ibu komplek sini." Bu ratna duduk di sebelah Zidna. "Kebetulan malam ini ayahmu ada pengajian, ayahmu minta ditemani ibu." Bu ratna duduk di samping Zidna.
"Materi kajiannya tentang apa bu?"
Bu ratna tersenyum. "Ibu mau ngrepotin kamu satu lagi, ibu lupa kalau malam ini hari rabu. Jadi ibu lupa belum buat materi kajian malam ini."
Zidna mengangguk paham. Setelah ibunya keluar dari kamarnya. Ia melangkah menuju lemari yang berada di sebelah ranjangnya. Tempat dimana kitab-kitab yang sering ia pelajari berada. Membuka selembar demi selembar. Mencari-cari materi apa yang pas. Ini bukan kali pertama ia menggantikan ibunya mengisi pengajian.
Terkadang jika ibunya ada halangan untuk mengisi pengajian rutin yang sering ibunya lakukan, pasti bu Ratna meminta Zidna untuk menggantikannya. Dengan senang hati Zidna melakukannya. Karena dengan begitu ia dapat berbagi ilmu dengan orang lain.
Berbeda dengan saat ini. Kondisinya sama sekali tidak mendukung. Perasaan dan pikirannya sedang kacau. Takut-takut ia malah akan melakukan kesalahan.
Namun, ia juga tidak dapat menolak permintaan ibunya itu. Jika ia menolak. Pasti ibunya akan melontarkan berbagai pertanyaan atas penolakan yang ia lakukan. Jadi untuk mencari aman. Lebih baik ia mengiyakan saja permintaan ibunya itu. Dan berdoa semoga semuanya berjalan lancar seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
SpiritualMenghela nafasnya sebentar kemudian berkata. "Kalau tahu dia tidak mampu jadi imam kamu, dulu aku tidak akan membiarkan dia bersama kamu." pandangan Zakki lurus kedepan. Keseriusannya terpancar jelas dari raut wajahnya. "Aku makin nggak ngerti apa...