Acara pengajian itu berjalan lancar. Apa yang ia takutkan tadi tidak benar-benar terjadi. Seperti biasanya ia mampu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu-ibu.
Sekitar 10 menit yang lalu pengajian itu sudah selesai. Zidna masih duduk di atas karpet tempat dia duduk tadi. Menatap kitab yang tadi ia gunakan untuk mengisi pengajian. Hanya tinggal dia satu-satunya orang yang masih duduk di serambi masjid. Masih enggan beranjak dari tempatnya duduk tadi.
Menelaah kembali apa yang ia sampaikan tadi.
Tiga perkara, yang barang siapa memilikinya, ia dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul melebihi cintanya kepada selain keduanya, cinta kepada seseorang karena Allah dan membenci kekafiran sebagaimana ia tidak mau dicampakan ke dalam api neraka." (H.R. Bukhari-Muslim)
"Apa saya masih dapat menikmati manisnya iman yang Engkau janjikan Ya Robb?" Zidna bergumam, menundukkan wajahnya. Lalu memejamkan matanya. Mengingat apa yang telah ia lakukan selama ini. Merenungi segala kesalahannya. Kesalahan terbesar yang ia lakukan tahun-baru belakang ini.
"Ternyata sikap wibawanya seorang pemimpin redaksi yang kamu tunjukkan itu hanya sebagai topeng."
Suara yang mirip ejekan itu menggagetkan Zidna. Tanpa aba-aba, Zidna membuka matanya lalu mendongak. Menatap sang empunya suara.
Mendengus kesal, kenapa dimana pun ia berada selalu dua orang itu yang mengganggu dirinya. Kakak laki-lakinya dan satu lagi Zakki.
"Aku kira, selama kamu tinggal di luar kota bisa mengajarkan kamu untuk tidak mengganggu ketentraman orang lain." tukas Zidna sarkatis.
Zakki hanya mengedikkan bahunya. Ia berdiri, bersandar pada daun pintu masuk masjid. Sedangkan Zidna berada pada sisi kanan pintu masjid. Duduk menghadap arah luar masjid.
Keduanya diam. 5 menit berselang. Zakki kembali angkat bicara. "Aku cuma mau bilang, kalau ada masalah itu di ceritakan sama orang lain. Jangan di pendam sendiri."
"Jangan sok tahu kamu." Zidna menjawab tanpa menatap Zakki. Tatapannya masih mengarah pada kitab yang berada di tangannya.
"Gak usah pura-pura kamu baik-baik saja, kita udah kenal dari kecil. Aku tahu segala kebiasaan kamu. Dan tadi pagi saat aku ke rumah kamu, aku tahu kamu sedang meluapkan segala emosi kamu dengan memukuli samsak."
Zidna diam. Dia mencerna setiap kata yang di ucapkan Zakki. Laki-laki itu memang benar.
"Kenapa diam? Yang aku katakan memang benar kan?" lanjut Zakki
Lantas Zidna tertawa kecil sebelum akhirnya menjawab. "Dari dulu, kamu memang teman yang paling sok tahu." memberi jeda lalu melanjutkan. "Sepertinya kamu memang terlahir sebagai cenayang."
Zakki tertawa. Bukan karena ia dikatakan sebagai cenayang. Namun, kata teman yang baru saja di katakan oleh Zidna menyentil hatinya.
Teman
Hanya teman
Zakki menertawakan dirinya sendiri. Selama ini Zidna hanya menganggapnya sebagai seorang teman. Tidak lebih.
"Sandi apa kabar?" setelah mengatakan itu, zakki merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa dengan lancangnya mulutnya melontarkan perkataan semacam itu. Padahal itu adalah topik yang sangat ia hindari.
Wajah Zidna seketika menegang. Senyum yang tadi sempat terukir di bibirnya sirna sudah. Ia tak berkata apa pun. Bahkan bergerak saja rasanya sulit.
Zakki memicingkan matanya melihat reaksi Zidna yang tidak ia duga sebelumnya.
Zakki mulai berpikir. Sepertinya ada suatu hal yang terjadi yang tidak ia ketahui selama ia tidak ada.
***
Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil namanya. Zidna lantas menoleh ke sumber suara. Ia tidak heran lagi. Laki-laki itu tidak akan pernah berubah. Selalu saja merecoki hidup Zidna jika mereka berada dalam satu tempat yang sama.
"Kamu juga disini?"
"Kamu pikir?" ketus Zidna
Zakki tertawa. "Aku kira ini cuma bayangan kamu."
Mereka tengah berada di kampung seni 29. Sebuah kampung yang tengah hits karena jalan kampung sepanjang 150 meter di lukis lukisan 3 dimensi yang menjadi daya tarik tersendiri.
Saat ini sedang berlangsung wawancara terbuka antara koordinasi kampung seni dengan beberapa pemuat berita online.
"Ikut wawancara?" tanya Zakki lagi. Ia mensjajarkan langkahnya dengan Zidna.
"Iya."
"Gitu banget jawabnya." sungut Zakki. Ia sudah kembali ke sifat aslinya yang slengekan.
"Lalu?" Zidna menghentikan langkahnya. "Apa perlu aku jelasin panjang lebar sama kamu. Sedangkan kamu sendiri sudah tahu tujuan aku kesini untuk apa." lanjut Zidna. Kemudian melanjutkan langkahnya.
"Reporter kamu kemana?" seolah tidak memperdulikan jawaban Zidna. Zakki malah bertanya lagi.
"Aku kesini juga sama mereka."
Zakki mengganggukan kepalanya. Lalu bertanya "Kamu gak tanya balik kenapa saya juga disini?"
"Buat apa?"
"Basa basi doang kali Na, biar kelihatan kalau kita itu teman." Zakki meringis setelah mengatakannya. Kata teman yang baru saja ia katakan merupakan fakta pedih yang harus ia hadapi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
SpiritualMenghela nafasnya sebentar kemudian berkata. "Kalau tahu dia tidak mampu jadi imam kamu, dulu aku tidak akan membiarkan dia bersama kamu." pandangan Zakki lurus kedepan. Keseriusannya terpancar jelas dari raut wajahnya. "Aku makin nggak ngerti apa...