5.Lamaran

54 25 8
                                    

Senyum itu tidak luntur dari bibirnya. Sejak pertama kali ia membuka top news berita minggu ini. Berita tentang kampung seni 29 yang ia muat beberapa hari yang lalu itu menjadi top news teratas.

Bagaimana tidak. Berita tentang kampung seni adalah berita yang paling di nanti. Berita tentang asal mula adanya kampung seni hingga orang-orang yang membuatnya.

Ketukan di pintu kamarnya pun tak ia hiraukan. Sampai yang mengetuk pintu menyembulkan kepalanya ke dalam kamar. "Lagi ngapain dek? Di panggil-panggil nggak jawab?" Farhan bertanya lalu masuk untuk menghampiri Zidna.

"Ini mas, berita yang aku muat beberapa hari lalu jadi top news minggu ini." jawab Zidna antusias tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.

Farhan ikut tersenyum. Bangga terhadap adiknya itu.

Seakan ingat sesuatu Zidna bertanya. "Mas Farhan ada apa?"

Farhan terhenyak. Ingat bahwa niat awal ia masuk ke kamar adiknya adalah untuk menyampaikan bahwa ada keluarga yang ingin melamar Zidna untuk di persunting anak laki-lakinya.

Farhan menggaruk tengkuknya. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan adiknya saat ini.

Melihat gelagat aneh dari kakaknya itu, Zidna kembali bertanya. "Ada apa mas, katakan saja."

"Itu dek-" Farhan mengatur nafasnya sebelum kembali melanjutkan. "Ada keluarga yang datang melamar kamu."

Zidna terdiam.

Farhan sudah bisa menebak itu."Kalau kamu gak mau menemui mereka nggak apa, biar mas yang bilang sama ayah."

Zidna menggelengkan kepalanya."Nggak usah mas." Zidna lalu berdiri. Melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan badannya dan mengganti baju. Farhan menatap nanar punggung adiknya itu.

***

"Saya memberikan keputusan sepenuhnya kepada anak saya. Zidna." Pak Syarif mulai berbicara setelah Zidna duduk di kursi sebelahnya.

Semua yang ada di ruangan itu menunggu jawaban Zidna. Zidna sempat kaget melihat siapa yang kali ini datang untuk melamarnya. Dia menundukan kepalanya sejak pertama kali ia duduk. Menarik nafas dalam. Mempersiapkan segala resiko yang akan ia terima.

"Sabelumnya saya minta maaf jika jawaban saya bukan yang di harapkan." setelah Zidna mengatakan itu, semua yang berada dalam ruangan itu sudah tahu jawaban yang akan Zidna berikan. "Saya tidak bisa menerima lamaran ini." Pak Syarif dan bu Ratna sudah menduga bahwa jawaban inilah yang akan di berikan oleh putrinya.

Laki-laki yang duduk di hadapan Zidna menatap Zidna lekat. Seolah tidak percaya dengan apa yang barusan di katakan oleh gadis di hadapannya itu.

Ia sengaja membawa kedua orang tuanya langsung menghadap orang tua Zidna dengan tujuan agar Zidna menerima lamarannya. Namun seperti yang sudah-sudah, Zidna kembali menolak lamarannya.

Setelah cukup berbasa-basi akhirnya satu keluarga itu pamit pulang. Kini tinggallah Zidna dan kedua orangtuanya. "Maaf yah. Zidna-"

"Tidak apa, ayah paham." Pak Syarif berkata tulus. Bu ratna berdiri dari duduknya lalu berpindah tempat duduk di samping Zidna. Tersenyum menenangkan Zidna dan mengelus bahunya. "Semua keputusan ada di tangan kamu nduk. Ayah sama ibu nggak akan memaksa."

Zidna ikut tersenyum. Ia bersyukur. Sangat bersyukur. Memiliki kedua orangtua yang sangat mengerti dirinya.

"Zidna masuk dulu yah, bun."

Sampai di kamar Zidna mendudukan bokongnya pada ranjang. Menekuk lututnya dan menenggelamkan kepalanya.

"Kenapa bukan kamu yang datang?" gumamnya lirih

"Kenapa harus orang lain lagi." air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.

Dengan kasar ia segera menghapus air matanya saat bulir halus mulai turun di pipinya. Ia tidak ingin terlihat rapuh lagi. Lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya.

Handphonenya bergetar. Menandakan ada sebuah pesan masuk. Zidna hanya menoleh tanpa niatan membukanya.

Setelah Getaran kedua. Zidna mendengus kasar. Siapa sebenarnya yang mengirimkan pesan itu. Tidak tahu apa jika Zidna sedang dalam keadaan yang tidak baik.

Dengan malas ia meraih Handphonenya yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidurnya.

Hampir saja Zidna menjatuhkan Handphonenya setelah membaca nama pengirim yang mengirim pesan untuknya. Nama itu. Nama orang yang satu jam lalu datang kerumahnya membawa kedua orangtuanya untuk melamar dirinya.

Dava : Saya pikir setelah saya melamar kamu secara resmi dengan membawa kedua orang tua saya menghadap orangtua kamu, kamu mau menerima lamaran saya.

Dava : Harus dengan cara apa agar kamu mau menerima saya?

Zidna menatap Handphonenya. Ragu untuk membalas pesan itu. Menit kelima layar Handphonenya menyala. Ada pesan masuk lagi.

Dava : Sampai kapan kamu menunggu dia. Dia  terlalu pengecut untuk mendapatkan cinta kamu.

Hati Zidna memanas. Ia paling tidak suka jika Dava mulai menjelek-jelekan laki-laki itu.

Zidna : Saya sudah pernah katakan berkali-kali, kamu tidak berhak menghakimi dia.

Dava : Saya hanya mengatakan apa yang harusnya saya katakan.

Read.

Zidna hanya membaca pesan itu. Air mata kembali menggenang. Tanpa dapat dicegah lagi air mata itu tumpah. Sekuat tenaga Zidna menghentikannya. Kenapa semuanya terlalu rumit. Kenapa hatinya harus mencintai seseorang yang bahkan saat ini tidak perduli dengannya. Untuk kesekian kalinya ia harus membersihkan luka terhadap laki-laki yang tulus mencintainya.

"Maafkan saya dav, saya tidak ada niatan untuk menyakiti kamu. Saya benar-benar nggak bisa."

***

Gimana sampai part ini? Greget nggak? 😂
Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa ada tokoh baru? Iya nggak? Iya ajalah biar aku seneng 😄 (maksa banget ya kesannya)

Semoga cerita ini bisa menginspirasi kalian. Maapin aku yang masih labil. Maklum baru belajar nulis. Niatnya cuma iseng-iseng pengisi waktu laung

Sekian. Selamat malam

Believe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang