Zakki baru saja selesai melaksanakan shalat isya'. Malam ini ia memang sengaja tidak shalat di masjid. Ia berdiri sambil melipat sajadahnya.
Tiba-tiba handphonenya berdering.
"Assalamualaikum." ucapnya menjawab panggilan
Matanya langsung berbinar saat orang yang menelepon mengatakan tujuannya menelepon Zakki. "Yang benar kamu?" lalu menjepit handphonenya antara telinga dan pundak kanannya. Tangannya masih sibuk melipat sajadahnya dan menaruhnya di rak samping nakas.
"Baiklah, besok akan aku urus semuanya. Insyaallah lusa semuanya sudah selesei."
Kemudian panggilan itu terputus. Zakki tak henti-hentinya mengulum senyumnya. Bagaimana tidak. Proses perizinan untuk tempat ia membuka galeri lukisan di solo sudah di setujui oleh pihak yang bersangkutan.
Besok ia akan memboyong semua lukisannya ke Solo. Di rumahnya ia mempunyai ruangan khusus yang di jadikan sebagai tempat menampung semua hasil karyanya.
Sudah banyak lukisan yang ia buat. Sudah banyak pula lukisannya yang berpindah tangan ke orang lain yang menyukai lukisannya.
Ini mimpinya. Sejak kecil Zakki selalu berharap jika suatu saat nanti ia akan mempunyai galeri lukisan sendiri. Dan kini mimpi itu terwujud. Ia langsung sujud syukur. Allah telah mengabulkan doa-doanya selama ini.
"Terimakasih Ya Robb." ucapnya di sela-sela bahagianya.
Di tengah-tengah bahagianya itu, satu nama terbesit dalam ingatannya. Lalu ia bertekad mulai saat ini ia tidak akan bersembunyi lagi. Dan besok ia akan memulai semuanya. Memulai usahanya.
Semoga ini waktu yang tepat.
***
Matahari sudah hampir tenggelam di peraduan. Namun, Zidna tidak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Ia masih setia berkutat dengan laptop dan pekerjaannya.
Dua minggu setelah pertemuannya dengan sandi. Masih menyisakan rasa sakit yang tak kunjung sembuh. Setelah kejadian itu, ia selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Dari pagi sampai malam ia selalu berada di kantor. Pulangnya, ia tidak langsung istirahat. Ia masih menyempatkan waktu untuk murojaah. Murojaah adalah mengulang-ulang hafalan Al-qur'an. Hanya dengan menghadap Sang Kholik-lah Zidna merasa tenang.
Selama dua minggu ini, Zidna selalu melakukan kebiasaan itu. Tidur dengan waktu yang sangat minim. Karena baginya saat ia berada dalam kondisi sendirian dan tanpa kesibukan ia akan selalu teringat dengan luka yang masih menganga. Luka yang belum bahkan mungkin tidak ada obatnya.
Saat adzan maghrib berkumandang. Zidna menghela nafasnya. Lalu menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi. Bohong jika Zidna mengatakan baik-baik saja. Bahkan saat ini bukan hanya hatinya yang sakit. Namun badannya juga terasa remuk. Bagaimana tidak, selama dua minggu ini ia selalu memforsir tubuhnya tanpa istirahat. Itu semata-mata ia lakukan supaya ia tidak mengingat ataupun merasakan kesakitan yang tengah ia alami. Zidna hanya manusia biasa. Seseorang yang akan lemah jika dihadapkan dengan cinta. Ia bukan Fatimah yang mampu menyembunyikan rasa cintanya terhadap Ali pada siapapun.
"Allahumma Robba Hadzihid Da'watit Taammati Was Sholaatil Qoo'imati Aati Muhammadal Wasiilata Wal Fadhiilata Wab-'atshu Maqoomam Mahmuudal Ladzii Wa-'adtahu"
“Ya Allah, Tuhan yang memiliki panggilan yang sempurna dan shalat yang didirikan. Karuniakanlah kepada junjungan kami Nabi Muhammad wasilah, keutamaan, kemuliaan, dan derajat yang tinggi. Dan angkatlah ia ke tempat yang terpuji sebagaimana telah Engkau janjikan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
SpiritualMenghela nafasnya sebentar kemudian berkata. "Kalau tahu dia tidak mampu jadi imam kamu, dulu aku tidak akan membiarkan dia bersama kamu." pandangan Zakki lurus kedepan. Keseriusannya terpancar jelas dari raut wajahnya. "Aku makin nggak ngerti apa...