8.Kenyataan

52 15 18
                                    

"Aku jadi ingin nonjok kamu setelah dengar percakapan kalian." Zakki menatap laki-laki yang baru saja duduk di depannya itu dengan garang.

Sedangkan yang di tatap hanya memasang wajah lusuhnya. Seolah ekspresi itu adalah gambaran dari hatinya saat ini. "Saya yang salah." Sandi menjawab. Tatapannya kosong.

Setelah Zidna menghilang dari pandangannya, Sandi kemudian berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah meja lain. Lalu duduk di depan Zakki yang sejak tadi memunggunginya. Zakki duduk selang dua meja di belakang Zidna. Sehingga Zidna tidak mengetahui keberadaan Zakki. Sandi secara sengaja menyuruh Zakki datang ke sini.

"Tanpa kamu bilang juga aku tahu kalau yang salah itu kamu."

Mendengar itu, Sandi mengusap wajahnya kasar.

"Langsung aja ke intinya, maksud kamu nyuruh aku ke sini untuk apa? Kalau cuma buat ngehibur kamu mending aku pulang." Zakki berniat berdiri dari duduknya. Suara sandi kembali terdengar. "Saya tahu kamu suka sama dia."

Zakki menaikkan satu alisnya."Dia siapa?"

"Zidna."

Deg. Bagaimana sandi tahu. Padahal selama ini Zakki menyimpan perasaannya rapat-rapat. Rasa sukanya hanya ia pendam sendiri. Tanpa berniat memperlihatkan pada orang lain.

"Kamu ini ngomong apa sih?" Zakki menjawab mencoba menutupi kebenaran.

"Tidak usah pura-pura tidak tahu. Dulu saya sering lihat kamu liatin Zidna diam-diam."

Tawa Zakki terdengar. "Kamu suka sama aku ya? Sering liatin aku diam-diam. Wah wah ternyata laki-laki yang di sukai Zidna itu suka sesama jenis." Zakki berbicara dengan tawa yang masih terdengar. Sikap slengekkannya kembali lagi. Padahal Sandi niatnya berbicara serius. Namun Zakki malah menanggapinya dengan candaan.

"Saya serius. Ini bukan waktunya bercanda zak." Sandi menatap Zakki tajam.

Tawa Zakki seketika berhenti. Ia membenarkan duduknya. Meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Baiklah. Mari kita bicara serius. Antara laki-laki dan laki-laki." Zakki memasang senyum miringnya.

"Kamu tadi sudah dengar sendiri apa yang saya bicarakan sama Zidna." Sandi memberi jeda. "Sekarang saya sudah melepas Zidna. Jadi tidak ada halangan lagi buat kamu perjuangin apa yang seharusnya kamu perjuangankan dulu."

"Saya masih belum paham maksud kamu apa?"

"Kamu harus jujur sama Zidna tentang perasaan kamu ke dia yang sebenarnya."

Zakki merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. "Allah melarang kita pacaran, karena itu termasuk perbuatan yang mendekati zina."

"Saya gak nyuruh kamu pacaran."

"Lalu?" Zakki menaikkan sebelah alisnya. "Aku bukan kamu yang bisanya cuma nyatain cinta sama perempuan terus ninggalin perempuan itu. Ngasih harapan yang nggak ada ujungnya. Lalu datang lagi buat nyakitin. Aku gak sebrengsek itu san." lanjut Zakki sarkatis.

Sandi kembali termangu mendengar jawaban Zakki. Ia harus kembali menelan pil pahit yang selama ini ia berikan pada Zidna. Selama ini ia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Zidna. Bahkan dengan status pacaran pun mereka tidak pernah terikat. Mereka hanya dua orang yang saling menaruh hati dan harapan satu sama lain. Dan dengan bodohnya sandi menyalahkan gunakan hati dan harapan itu. Ia justru membalasnya dengan luka.

"Kalau saya bisa memilih, saya tidak akan pernah meninggalkan dan menyakiti Zidna seperti ini." ucap sandi.

"Aku kira dulu kamu benar-benar serius dengan Zidna. Makanya aku lebih baik mundur dan pergi. Itu alasan kenapa aku sampai harus jauh-jauh kuliah di bandung." Zakki yang tadinya kekeh menyembunyikan perasaan, kini justru terkesan blak-blakan menceritakannya pada sandi.

Sandi menatap Zakki tidak percaya. Sepersekian detik ia kembali menetralkan raut wajahnya lalu berkata. "Ternyata kamu juga pengecut."

Zakki memandang sinis Sandi."Karena aku tahu, Zidna bahagia sama kamu."

"Kamu menyerah sebelum bertanding?"

"Buat apa aku maju kalau akhirnya aku cuma dapat sakit hati."

Ahhh. Kenapa Sandi sama Zakki jadi melo seperti ini. Dua laki-laki tampan nan berwibawa yang membicarakan satu wanita pemilik hati mereka. Membuat mereka lupa soal gengsi.

"Jadi, apa yang bakal kamu lakuin sekarang? Saya sudah bukan saingan kamu lagi."

"Empat tahun aku lari, sekarang aku udah bertekad buat dapetin Zidna. Bahkan merebutnya dari kamu. Jadi sebelum kamu minta pun, aku udah mau perjuangin semuanya."

"Maksud kamu?"

Zakki memutar bola matanya. Saat ia sudah serius kenapa sekarang jadi sandi yang lemot seperti ini. "Lemot ternyata penyakit menular ya." sindirnya

Sandi hanya mendengus.

"Saat aku tahu kalau kamu memilih buat nglanjutin sekolah jadi TNI. Aku jadi mikir kalau aku ada peluang buat dapetin Zidna."

"Lalu?"

"Aku bakalan khitbah Zidna."

Sandi seperti disiram air panas. Hatinya kembali menjerit. Ia tidak sanggup melihat wanita yang ia cintai duduk berdampingan dengan laki-laki lain. Namun ia kembali ditampar kenyataan kala ia ingat bahwa ia sudah melepas Zidna. Ia harus ikhlas dengan semua ini.

Bukannya wanita baik-baik untuk laki-laki yang baik pula. Sandi percaya, Zakki-lah orang yang tepat untuk Zidna. Bukan dirinya. Walau sebagian hatinya tidak menerima kenyataan yang telah ia pilih.

***

Zidna menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang tempat tidurnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini sudah tak terbendung lagi.

Ia ingin berteriak. Kenapa semuanya jadi seperti ini. Pengorbanan dan penantiannnya berujung tangis. Berbanding terbalik dengan hayalan-hayalannya. Hidup bahagia dalam ikatan halal dengan laki-laki yang ia cintai.

Zidna menangis dalam diam. Air matanya terus mengalir. Ia menggigit bibir bawahnya. Menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Meluapkan emosi, rasa sakit, dan kecewanya.

"Kamu jahat." keluhan itu terdengar dari bibir Zidna.

"Apa salah saya?"

"Kenapa kamu tega lakuin semua ini ke saya."

Ia terus merancau tidak jelas. Berbicara seolah-seoalah di depannya ada sandi.

Tadi saat berada di depan Sandi. Ia menahan segala emosinya. Sekuat tenaga menahan air matanya. Berpura-pura baik-baik saja. Ia tidak mau kejadian empat tahun lalu terulang kembali. Kejadian dimana ia terlihat rapuh di depan Sandi. Mempertahankan Sandi, berkata bahwa ia akan menerima apa pun resikonya jika ia menunggu sandi.

Dan kini, ia harus menanggung resiko itu. Ia harus merasakan sakit untuk keduanya kalinya. Merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan. Ia tidak sepenuhnya menyalahkan sandi. Karena dulu ia sendiri yang memilih untuk menunggu sandi.

Apa ini teguran dari Mu Ya Robb?

Tiba-tiba Zidna teringat tempat ternyaman di dunia. Ia lantas menolehkan kepalanya ke arah jam dinding yang berada di samping pintu. Pukul tiga lewat dua puluh menit. Ia bahkan melupakan waktu shalat ashar.

Astagfirullah.

Zidna mengusap kasar air matanya. Beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Ia akan bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Tempat dimana ia bisa mencurahkan segalanya. Tanpa harus malu. Bahkan tanpa ia bicara pun. Sang Maha kuasa sudah mengetahuinya.

***

Yeye
Saya balik lagi. Gimana sama part ini?
Di tunggu komennya yah 😊

Selamat malam minggu.
Long weekend man teman........

Believe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang