"Lakukan apapun yang kau mau, sebelum nanti kau menyesal telah mengabaikan kesempatan yang ada dalam hidupmu." ujar Emma.
Kata-kata sederhana serta apa adanya, mampu menginspirasi Laura agar tetap menjalani takdirnya sebagai bagian dari keluarga Giovinco. Ia masuk ke dalam permainan dan mengikuti semua peraturan yang ada, dimana dirinya berada di titik aman, tanpa mendapatkan risiko tinggi. Bersahabat dengan Emma, membuatnya bisa bernapas menghadapi kehidupan rumitnya, serta melupakan masa lalu kelamnya.
Emma ialah cerminan dari dirinya yang muak akan dunia. Namun, sahabatnya itu tau cara terbaik bertahan di tengah kesulitan. Laura melangkah keluar dari kamarnya, hatinya teguh untuk membujuk Darcy agar Emma tinggal di kediamannya selama satu bulan ke depan. Dirinya butuh teman, dan ia akan membayar banyak pengawal untuk menjaga Emma.
Sosok Darcy kini sedang berbicara dengan Nolan Giovinco. Baru saja Nolan Giovinco dan istrinya sampai, mereka berencana akan tinggal di rumah ini kurang lebih tiga hari. Ini menjadi kartu keburuntungan untuk Laura, jika Nolan-kakeknya mengizinkan Emma tinggal disini berarti Darcy tidak bisa berbuat apapun lagi kecuali menurutinya. Yang perlu di lakukan Laura yaitu membujuk kakeknya, berhubung setia apa yang ia minta selalu dituruti. Memang menyenangkan menjadi cucu perempuan satu-satunya di keluarga Giovinco.
"Dimana pamanmu itu? apakah dia sudah datang?" tanya Nolan pada Darcy. Lagi-lagi Darcy terkena imbasnya akibat ulah paman Rhys. Memiliki paman dengan segala tingkah absurd membuat dirinya, Luara serta Jonathan sering ditimpali omelan Nolan. Bukankah seharusnya, seorang paman menjaga para keponakannya, ini malah kebalikannya.
Darcy memberi cengiran sambil menggaruk tengkuk lehernya. Sebentar lagi kakenya akan mencekal pundaknya kuat sampai dirinya berlutut dihadapan si tua bangka.
"Kakek.. Aku merindukanmu." Kehadiran Laura menyelamatkan hidupnya Darcy. Seketika Darcy mendesah lega.
Nolan dengan Laura memiliki sifat mengerikan yang sama. Tapi ketika mereka bersama, ada keakrapan hingga membuat orang lain kadang iri. "Hei sayang..." ujar Nolan menerima pelukan Nolan.
"Selama ini kau sehatkan?" Laura bertanya sambil tersenyum senang.
"Tentu saja! aku selalu menjaga pola makanku." Well, sejak beberapa tahun lalu Nolan terserang penyakit diabetes akibat sering mengonsumsi minuman beralkohol.
Mendengar jawaban Nolan, batin Ross-istri Nolan berdecak sebal.
"Dia berbohong Laura! aku menemukan kakekmu mengendap-ngendap ke dalam gudang penyimpanan Vodca di bawah tanah. Kalau saja tidak ada pelayan menjerit karena kaget mengira Nolan adalah hantu, aku mungkin sampai sekarang tidak akan tau bila dia masih melakukan kebiasaan buruknya."
"Kakek kau kasihan sekali. Sebenarnya kau masih boleh meminum itu asalkan dalam takaran sesuai. Nanti malam kita akan minum vodca bersama."
Darcy dan Ross mendesah kesal. Pola pikir Luara memang pas sekali dengan keinginan Nolan. Maka dari itu mereka sangat akrab.
"Oke, aku akan menyuruh pelayan membelikan vodca terbaik untuk kita." Balas Nolan penuh semangat.
Pandangan Nolan kembali ke arah Darcy. "Jadi paman sialanmu itu belum juga datang?" suara Nolan terdengar penuh intimidasi.
"Dia.. dia.." Mata Darcy menatap ke arah lain, seolah mencari sosok di dalam rumahnya. Dan keburuntangan sekali lagi berpihak pada Darcy.
"Hey, paman Rhys. Kakek mencarimu." Panggil Darcy dengan suara begitu lantang. Ia bersyukur tidak akan mendapat cekalan mengerikan dari kakeknya. Sayangnya, kenapa ada perempuan sialan itu berjalan di samping paman Rhys?
Dititik lain Emma canggung hampir semua mata tertuju padanya. Apakah kehadiranku disini sangat menggangu? kau bodoh atau apa Em? jelas semua keluarga Luara sedang berkumpul dan dirimu merupakan orang asing disini.
"Emma? bukannya saat ini kau ada kelas?" Laura melepaskan pelukannya lalu menghampir Emma kemudian memeluk sahabarnya tersebut. Hatinya menggebu senang, ia akan memperkenalkannya pada Nolan.
Suara pekikan Emma terdengar kencang. Laura mengenggam kuat luka jahitan di lengannya. "Menyingkirlah Laura, dia habis mengalami kecelakaan dan kau menyentuh lukanya." Perintah Rhys sambil menarik Emma dari sisi Laura.
"Apa? kenapa bisa terjadi?" Laura menatap Emma nanar. Sedangkan Darcy tersenyum sinis. Dugaannya benar adanya bukan? perempuan itu akan terluka jika berteman dengar Laura. Dan bukti langsung terpampang menguatkan dugaannya.
Suasana menjadi berubah tak terkendali ketika Emma mengatakan, "ada dua orang brengsek yang melukaiku. Tapi lupakanlah, aku mual mengingat kejadian itu." Emma tersenyum tipis menenangkan Laura, tangannya bergerak menepuk-nepuk pundak sahabatnya tersebut. Nyatanya hatinya tersulut amarah, ia masih mengingat jelas betapa dirinya muak pada kehidupannya.
Ekspresi Nolan berubah mengkaku. Matanya memandang selidik diri perempuan bernama Emma tersebut. Semua orang akan sadar, bahwa secara tersirat Emma cenderung membenci Laura. Lihat saja dari dari cara bicaranya tadi serta pembawaannya yang kurang sopan. Meskipun begitu, tidak ada tanda-tanda perempuan itu merupakan seorang mata-mata yang bersekutu dengan musuh keluarga Giovinco.
*
*
Ada banyak bercak darah pada pakaian Emma. Jadilah, Laura membantu Emma mengganti pakaian menggunakan baju miliknya. Padahal, rencananya hari ini adalah membeli beberapa pakaian untuk sahabatnya tersebut. Juga ia ingin membelikan sebuah laptop baru. Namun, akhirnya semua tidak sesuai rencana.
Kakek dan neneknya mengujunginya secara mendadak, serta Emma terluka parah.
Dititik lain, Emma berulang kali menghela napas berat. Ia layaknya penggangu di rumah ini. Beruntung, menit lalu Ally-rekan kerjanya dulu saat ia bekerja di tempat Gav- membalas messagenya bahawa perempuan itu mengizinkannya menginap di apartemennya malam ini. Emma benci bila dirinya harus membalas budi. Bukannya ia tidak mau, tapi ia tidak memiliki waktu banyak di tengah kesibukannya.
"Kau sudah makan siang?" tanya Laura menggunakan nada sedih.
"Iya." Dua potong roti ukuran besar sangat mengenyangkan, sewaktu Emma memakannya di rumah sakit.
"Jadi, kenapa dua orang brengsek itu melukaimu?"
Alam bawah sadar Emma berdecak sebal. Laura masih kekeh memaksanya untuk menceritakan semua kejadian tadi, walaupun Rhys telah memberi peringatan pada Laura agar membiarkan ia untuk beristirahat. Dari awal sifat penasaran Laura sudah mendarah daging, ditegur bagaimanapun tidak akan bisa mengubah pendiriannya.
"Seorang tamu perempuan di tempat reastauranku bekerja dengan sengaja membanting gelas dihadapanku tanpa alasan yang jelas. Dia menjambak rambutku, meremehkanku, mempermalukanku lalu mendorongku ke atas pecahan beling. Lalu managerku datang dan menamparku. Kau puas?" Emma memberi tatapan tajam pada manik mata indah Laura.
"Kedua orang itu pantas mati, Emma!"
Apa?!
Emma menegang mendengar ucapan Laura Giovinco. Sorot matanya terdapat kilatan kelam yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Laura terkenal dengan sosok perempuan lembut, sungguh sulit di percaya dia memliki sisi kejam tersembunyi rapat hingga banyak orang tidak menyadari hal tersebut. Sebenci-benci dirinya pada sesuatu hal, palingan hanya mempermalukannya di tengah banyak orang, supaya orang tersebut kehilangan muka di hadapan orang lain.
"Masalahnya bukan hanya itu saja...." Emma mencoba menenangkannya dan ia berhasil. Ekpresi Laura berubah lebih normal karena penasaran dengan perkataannya yang menggantung.
"Mereka berdua adalah sebagian kecil dari puluhan orang yang menyakitiku. Bagiku itu bukanlah masalah besar. Aku sudah terbiasa disakiti lagi pula besok aku akan lupa sendiri. Kalau kau masih mengungkit masalah ini, sama saja kau mengulang ingatanku tentang dua orang brengsek tersebut. Kumohon, buanglah rasa empaty-mu itu."
Batin Laura bergemuruh. Terlahir sebagai keluarga Giovinco mengharuskannya menjadi seorang pembunuh. Sekalipun dia adalah seorang perempuan!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]
Roman d'amour[COMPLETED] Romance/Action/Humor/Family ♣︎ Rhys Giovinco Rhys memejamkan kedua matanya. Meresapi kekosongan menyerang inti jiwanya. Bosan. Kata itu terulang kembali untuk kesekian kalinya. Jangan menuduh Rhys tidak berusahan mencari cara untuk memb...