Dua hari sebelum Emma siuman....
Bel apartemen berdenting, berulang kali. Seperti orang yang menekan belnya sangat tidak sabaran untuk dibukakan pintunya. Akhirnya Erika berlari dari dapur sempitnya menuju pintu apartemennya. Tak lupa tangannya menggenggam sebuah pistol yang sempat ia ambil dari atas lemari piring.
"Tunggu sebentar.." sahut Erika sambil membukakan pintu dengan perlahan. Pistolnya telah tersimpan baik dibalik punggungnya.
"Anda siapa?" Tukas Erika berekspresi santai namun menyelipkan nada serius, sebab ada hal mengganjal dari penampilan serta aura mereka.
"Nona Laura Giovinco. Tuan Rhys menyuruh anda untuk kembali ke Moskow." Ujar salah satu dari mereka.
Bohong!!!
Karena jika memang benar paman Rhys menyuruhnya kembali, pasti pamannya itu menghubunginya terlebih dahulu. Sesempit apapun keadaan paman Rhys.
"Oke. Aku akan merapihkan dulu barang-barang pentingku, kalian tunggu disini." Laura melancarkan aktingnya. Dia membuat anggukan pelan tanda mengerti serta wajahnya menampilkan ekspresi datar.
Pintu apartement kemudian Laura tutup, dan ia segera mengunci ganda pintu tersebut. Napasnya seketika berburu, ia segera lari ke kamarnya untuk meraih ponsel. Menghubungi panggilan cepat, paman Rhys.
Setelah nada ketiga, panggilannya akhirnya terjawab.
"Halo Laura." Sahut paman Rhys terdengar lelah.
"Paman, apa kau menyuruhku untuk pulang?" Tanya Laura sambil memijit panggakal hidungnya, ia juga berputar mengelilingi kamarnya meluapkan segala prasangka buruknya.
"Iya. Darcy yang akan menjemputmu, dia akan sampai ke tempatmu sekitar satu jam lagi." Seketika mata Laura terbuka lebar menatap pintu apartemennya yang kini di gedor keras. Berarti orang-orang yang datang menjemputnya saat ini bukan suruhan paman Rhys.
"Ada orang asing ke tempatku. Sepertinya mereka sudah mengelabuhi para pengawal yang menjagaku." Laura mengantongi ponselnya ke celana jeansnya, kemudian menyambungkan panggilan tersebut ke headset bluetoothnya. Sedangkan pistolnya ia selipkan ke saku satunya.
Sejenak, ia mengikat rambutnya terlebih dahulu sembari berpikir rencana seperti apa yang akan ia lakukan untuk melarikan diri dari apartement ini. Lebih baik ia mengunci kamar tidurnya terlebih dahulu kemudian mendorong meja belajarnya ke depan pintu, setelah itu baru Laura memulai pelariannya dengan menghempaskan tirai jendela kamarnya hingga terbuka lebar. Dia membuka kaca jendela membuat terik matahari seketika menerobos menyilaukan matanya.
Berulang kali Laura menelah salivanya karena tak bisa menghentikan rasa gugupnya. Ia menaiki sebuah kursi, kemudian ia merayap turun ke luar jendela bertelanjang kaki tanpa alas. Secara perlahan ia melangkah ke balkon tetangganya agar dirinya tidak jatuh dari ketinggian dua puluh meter. Jantungnya terus terpacu. Sebisa mungkin Laura tak menatap jalan raya yang ada di bawahnya, mungkin jika ia melakukan itu dirinya dapat pingsan saat itu juga.
"Mereka mengaku-ngaku bahwa kau menyuruh mereka menjemputku. Dan sekarang aku sedang merayap ke balkon tetanggaku." Seru Laura diselingi napas yang tersengal.
"Lacak posisi Laura...!" Teriak paman Rhys pada seseorang.
"Jangan putus sambungan telpon ini. Mengerti!"
"Iya!" Ujar Laura nyaris berteriak sebab suaranya hampir tenggelam oleh hembusan angin kencang.
Dititik lain para musuhnya bergerak mendobrak pintu apartement Laura. Beruntung, pintu apartement Laura dirancang khusus. Jika pintu tersebut rusak oleh hantaman kuat, maka alarm kebakaran akan segera berbunyi. Tapi hingga kini alarm tersebut belum juga berbunyi tanda mereka belum dapat membobolnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]
Romansa[COMPLETED] Romance/Action/Humor/Family ♣︎ Rhys Giovinco Rhys memejamkan kedua matanya. Meresapi kekosongan menyerang inti jiwanya. Bosan. Kata itu terulang kembali untuk kesekian kalinya. Jangan menuduh Rhys tidak berusahan mencari cara untuk memb...