"Akan ku bunuh bayimu, jalang!"
Jiwa Emma terasa di tepi jurang kematian. Perutnya di cengkram sangat kuat, rasa menyakitkan seketika tersentak kuat hingga tak tertahankan. Tangisannya pecah, melampiaskan ketakutannya melihat darah mengalir ke kakinya.
"Kumohon jangan bunuh bayiku..." Jerit Emma. Sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Mark di perutnya.
"Bayi ini harus mati, untuk menebus salah satu mataku yang kau rusak!"
"Hentikan.. kumohon." Mark muak mendengar kata permohonan terus meluncur dari mulut Emma. Ia melepaskan cengkramannya, tubuhnya berdiri lalu menendang diri Emma berulang kali. Memberi perempuan itu pelajaran, atas semua tindakan yang berani menentang keinginannya.
Emma memeluk perutnya erat, melindungi bayinya dari tendangan Mark yang brutal. Melihat air mata Emma, tawa Mark semakin terbahak.
Tapi tak lama, perlakuan itu terhenti saat sebuah tembakan meluncur ke arah bahu Mark.
Mata berkabut yang tertutupi oleh air mata, kini masih dapat melihat kemunculan Andre. Rasa syukur merebak di hati Emma, berbanding terbalik dengan Andre terselip murka. Keadaan nonanya benar sangat mengerikan. Sekujur tubuhnya lemah tak berdaya mendapatkan luka tendangan dan parahnya, pendarahan yang terjadi pada Emma membuat perasaan Andre tergores perih.
Ketika itu juga Mark dan Andre menghajar satu sama lain, hingga mereka berdua tenggelam ke arah lorong ruangan meninggalkan Emma sendirian. Namun, diluar dugaan Mark-lah yang kembali, serta tanpa sebilah pisau yang tadi sempat digenggamnya. Kemeja putihnya telah ternoda oleh darah. Entah apa yang dilakukan Mark pada Andre. Semoga saja Andre masih hidup. Pinta Emma dalam hati.
"Aku kembali sayang... Meskipun aku tau, kau mengharapkan diriku mati."
Emma menyeret tubuhnya sebisa mungkin menghindar dari sosok Mark. "Kau mau kemana? bayimu sudah mati."
"Bayiku belum mati." Kekeh Emma. Ia menyakini hal itu. Baginya Tuhan tetap baik padanya, meskipun takdir berulang kali merusak jalan hidupnya. Bayinya tidak akan mati. Ia akan melindunginya sekuat tenaga!
Dan yang pantas mati adalah lelaki gila itu!
Mark melangkah cepat ke arah Emma, ingin rasanya ia menjambak perempuan itu lalu menyeretnya ke dalam kamar mandi. Mengurungnya di sana, hingga Emma sadar jika kehidupannya seutuhnya adalah miliknya, dikendalikan sesuai keinginannya.
"Simpan langkahmu!" Suara berat Rhys menimbulkan harapan besar bagi Emma. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama.
"Sayangnya, sugestimu tidak berlaku padaku, Giovinco." Balas Mark tetap pada langkahnya. Sebab ia juga hampir persis seperti para Giovinco, dia bisa menularkan sugesti ke orang lain hingga orang tersebut terhipnotis atas perintahnya. Dengan tangannya tak luput meluncurkan tembakan mengenai ke bahu Rhys, membuat Emma menjerit pelan, suaranya teredam hebat karena tak kuasa membayangkan kematian Rhys.
"Hentikan kumohon... !"Jerit dengan sisa kesadaran Emma. Mark benar-benar berhasil membuatnya hidupnya hancur berkeping-keping. Emma mengusap wajahnya tanda ke-frustasian dia.
Sedangkan itu, Rhys semakin meninggikan senyumannya. Seperti tembakan tadi yang melukai tubuhnya tak berarti apa-apa baginya. Jiwa pembantai seorang Giovinco semakin mengalirkan darah panas, mendidih hingga ke ubun-ubunnya.
"Kau memang tidak mempan pada sugestiku, tapi tidak dengan hantaman dariku..." Rhys langsung melempar kuat badan pistol ke wajah Mark yang menyedihkan, tanpa satu mata. Tindakan ini menyebabkan langkah Mark berhenti untuk menghampiri Emma. Diduga selain Mark merasakan sakit hantaman dari badan pistol, pasti saraf penglihatan Mark mengalami gangguan hebat hingga mata lainnya akan kehilangan fokus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]
Roman d'amour[COMPLETED] Romance/Action/Humor/Family ♣︎ Rhys Giovinco Rhys memejamkan kedua matanya. Meresapi kekosongan menyerang inti jiwanya. Bosan. Kata itu terulang kembali untuk kesekian kalinya. Jangan menuduh Rhys tidak berusahan mencari cara untuk memb...