9 : Berharga :

53.9K 8.7K 469
                                    


9

: b e r h a r g a :


2014



"Gimana lo sama Bara? Masih?" tanya Asti, kemudian menyeruput matcha latte-nya. Leia dan kedua teman baik sedivisinya kini tengah makan malam di salah satu resto sepulang kantor.

Leia menutup laman Instagram, memandang Asti dengan bingung. "Masih apanya? Masih suka?"

"Iya, itu. Dan kalian masih berhubungan nggak, sampai sekarang?"

Leia terdiam, menelan ludah. "Aku masih suka sama dia." Leia memikirkan kalimat selanjutnya sejenak, kemudian menghela napas. "Tapi, hubungan kami begitu-begitu aja. Nggak ada progress. Aku dulu sempat chat Bara, sebenarnya cuma mau nanya tentang Aksel karena ada urusan urgent dari kantor. Tapi, hapenya nggak aktif. Trus abis itu ya... udah. Nggak ada hubungan lagi."

"Beb," Nirna mengibas poninya, "lo nggak ada niatan buat 'gerak duluan' gitu?"

Pandangan Leia beralih ke arah lain. Desahan lagi-lagi terlontar. "Buat apa?" Leia balik bertanya. "You said it yourself. Cowok bakal risi kalau cewek pedekate duluan sama mereka." Namun, ketika dia teringat Radhia, Leia menambahi, "Yah, walau nggak semua cowok bakal begitu."

"Trus menurut lo, Bara bakal jadi masuk ke tipe mana kalau ada cewek yang deketin dia?"

Leia terdiam. "Nggak tahu, sih. Tapi, kayaknya dia bakal terima aja kalau ada perempuan yang mau dekat sama dia."

"Nah, tuh!" Nirna berseru. "Udah yakin kalau Bara nggak akan risi, trus kenapa nggak deketin?"

"Aku masih ragu." Leia mendesah. "Berasa aneh banget, Nir. Bara aja kenal aku sekadarnya. Kalau kami udah lumayan kenal sih, nggak apa-apa. Kalau ini kan, aku cuma kenal Bara dari 'cangkang'nya dia aja. Kami ngobrol juga jarang banget. Aku pun juga nggak tahu apa yang harus diobrolin karena lingkungan kerja kami udah beda, kan. Kadang, aku juga takut kalau otakku 'nggak sampai' buat paham obrolan atau interest dia."

Ketiga perempuan itu terdiam. Makan malam bertiga setelah pulang kantor hari itu tak berniat membahas Bara, sebenarnya. Asti dan Nirna tahu bahwa Leia hanya akan berjalan di titik yang stagnan. Baik dari Leia maupun Bara tak ada yang bergerak karena alasan masing-masing. Leia dengan keraguannya, serta Bara yang memang tak tertarik kepada Leia. "Tapi, masa lo cuma mau menunggu keajaiban di mana Bara diam-diam naksir lo?" tanya Asti. "Kalau nggak ada yang gerak, ya semua bakal terus-menerus nggak beranjak di titik ini."

Leia membuka mulut, kemudian terkatup saat ia memilih menghela napas. "Does it really matter?"

"Apanya?"

"Pendekatan ke dia." Leia menopang dagu dengan kedua tangan. Pandangannya menerawang. "Aku mau nyoba deketin, tapi aku pikir, buat apa? Aku mau kami kenal secara natural."

"Coba chat aja, Beb." Nirna ikut menopang dagu. "Kan doi dokter. Tanyain aja tentang kesehatan. Siapa tahu dari situ, obrolan bisa berkembang."

"Tapi, rasanya nggak natural, Nir."

"Ya kalau nunggu 'natural' sih, nggak bakal kena juga momentumnya. Diusahain dulu aja, perkara ntar berproses secara natural apa enggak ya, urusan ntar," balas Nirna.

Terdiam, Leia merenung mencerna ucapan Nirna.

Lagi-lagi, Leia bertanya lagi kepada dirinya sendiri. Apa aku memang menginginkan hal ini? Sebab, masalah asmaranya memang tak bergerak dari titik yang sama karena Leia belum tahu apa yang benar-benar dia inginkan.

Remediasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang