1.1 Desperate

1K 20 0
                                    

Angin bertiup sedikit kencang dengan hujan yang deras membuat pohon melambai dan berkeringat seperti orang yang berhenti berlari jauh. Suatu potret keadaan alam ketika akhir dimusim hujan ini. Air yang berjatuhan dari langit membuat kanopi di jendela perpustakaan bersuara layaknya suara orang memukul panci. Hawa dingin yang menyelimuti seluruh badan membuatku ingin terjun ke sebuah kolam berisi air hangat. Aku menggosok kedua tanganku untuk membuat sumber panas dan menempelkan telapak tanganku di wajahku. Terasa lama aku duduk di dekat jendela perpustakaan ini sambil menunggu seseorang yang belum kunjung datang. Lebih dari 1 jam menunggu dia sambil melihat pemandangan hujan di balik jendela ini.

"Seberapa lama lagi aku menunggu di sini? Padahal dia berkata padaku di SMS untuk bertemu di perpustakaan sekolah jam 3 sore."

Mengingat kembali kejadian kemarin membuat diriku sedikit bersemangat, memenangkan turnamen pertandingan basket antarsekolah se-SMA. Sebuah hasil yang luar biasa dari kerja kerasku. Berlatih teknik dasar dan belajar memahami strategi ketika bertanding menjadi sesuatu yang tidak sia-sia. Kerja sama antar teman se-tim juga mendukung tercapainya menjadi juara. Lamunanku menjadi kabur ketika mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat padaku.

"???"

"Hai... Rendy..? ternyata, kamu datang..."

Sebuah pertanyaan dan pernyataan yang ragu-ragu. Tetapi aku mengenali suara yang halus dan terdengar kecil itu seketika. Detak jantungku berdetak cepat dari biasanya saat mendengar suara yang masuk melalui telinga kananku. Suara yang mungkin telah kudengar ratusan bahkan ribuan kali. Aku menghadapkan diriku padanya. Mataku tertuju pada wajah cantiknya. Kulit yang putih bagaikan salju yang bersih, dengan bulu mata yang sedikit lentik membuatnya seperti bidadari. Tanpa sadar, aku merespon ucapannya sedikit gugup.

"Dhi-Dhini? Ya, aku sudah menunggu disini sesuai apa yang kau sms kan padaku."

Ahhh sial. Kenapa aku berkata seperti orang yang marah. Kenapa ketika aku bertemu dengannya selalu membuatku gugup. Sejak tadi sebelum dia datang aku merasa santai dan tentram. Sungguh menyedihkan.

"Ya rendy. Terima kasih sudah datang. Maaf permintaan egoisku ini membuat kamu menunggu lama disini."

Diakhir ucapannya terlihat senyum kecil yang mengambarkan bahwa dia senang dengan kehadiranku dalam menepati permintaanya. Senyum itu membuatku menjadi lebih gugup. Tetapi entah kenapa terasa jantungku seperti dilempar batu, muncul rasa nyeri di setiap detaknya. Walaupun begitu aku tetap berusaha seperti biasa.

"ehmmm jadi... apa yang ingin kamu bicarakan padaku disini?"

Sakit dan sakit mulai menyerang dada kiriku. Terasa semua anggota tubuhku merasa lemas. Suara angin di balik jendela sedikit demi sedikit mulai tidak terdengar dengan didampingi rintik gerimis air yang masih menyelimuti alam dibalik jendela ini. Keringat mulai menuruni terjalnya leherku.

"hmmm sebenarnya.... Aku-aku merasa ada perasaan pa-padamu..."

Ucapan ragunya sedikit tidak terdengar. Aku mulai tidak bisa menahan rasa sakit di dada kiriku. Detik demi detik, rasa sakit terus bertambah setiap detiknya waktu berjalan. Aku tak lagi memperhatikan Dhini. Aku mencoba untuk berkata, tetapi suaraku tidak keluar. Seperti pita suaraku di ikat erat.

"....Rendy?"

Aku mencoba memijat tenggorokanku, tetapi ketika aku mengangkat tangan kiriku terasa sebuah lonjakan besar rasa sakit yang terkirim ke dada kiriku.

"...Rendy?!"

Tubuh sudah lemas. Bagaikan tubuhku terkurung di sebuah bongkahan es yang membekukan. Mataku masih melihat keadaan. Terlihat Dhini mulai panik dengan keadaan aneh yang terjadi padaku.

Scar and ArrhythmiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang