1.7 Hot Tea

66 9 0
                                    

Melangkah naik menuju lantai dua, diriku menemui sebuah masalah. Masalahnya adalah keberadaan perpustakaan ini tidak mudah untuk ditemukan seperti yang kupikirkan atau bahkan orang lain pikir. Ruang kelas memiliki sebuah tanda yang tertempel di bagian atas ujung pintu tersebut, kemudian ada sejumlah besar ruangan tanpa tanda lainnya. Apakah perpustakaan itu salah satunya? Atau hanya di suatu tempat di lorong ini? Aku bertaruh pada yang terakhir dan memilih arah secara acak.

Setelah diriku berbalik, sebuah pintu yang tidak bertanda menarik perhatianku karena tidak tertutup. Bisa dibilang setengah terbuka. Masuk akal jika pintu perpustakaan terbuka dengan mengundang seseorang untuk dimasuki, dan meskipun itu tidak meyakinkan. Pintu itu terlihat cukup bagus dengan ornamen-ornamen seperti tumbuhan yang terukir di setiap pinggirannya. Paling tidak itu berarti bahwa ada seseorang di dalamnya dan aku bisa menanyakan arah, betapapun memalukannya itu. Dengan hati-hati aku mendorong bagian tengah pintu dengan ujung jariku, setiap otot di lenganku siap untuk menarik kembali pada saat itu juga. Perasaan menjadi orang asing di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari pikiranku, sehingga diriku secara naluriah takut salah memasuki ruangan dengan kondisi yang tidak terduga.

Pintu perlahan berderit seakan mengerang dari tidur nyenyaknya, meskipun jauh lebih mudah untuk dibuka daripada yang kuperkirakan. Mencondongkan tubuh dan menengokkan kepalaku lebih jauh ke dalam untuk melihat isi dari ruangan tersebut, dengan lemah lembut diriku berkata "Halo ...?".

"...."

Ini ... tidak seperti yang kuharapkan. Tanpa pikir panjang aku membiarkan pintu terbuka sepenuhnya, melihat sosok penyendiri yang menjadi pusat perhatian di ruangan yang sepi ini. Situasi tersebut membuat diriku terdiam, dan berdiri di ambang pintu menatap gadis cantik itu. Gadis itu dengan lembut meletakkan cangkir tehnya dan membuka matanya, tetapi tidak menatap ke arahku.

"Halo, ada yang bisa saya bantu?"

Menatap langsung kearah depan, gerakan bibirnya tampaknya memecah keheningan daripada kata-katanya. Namun suara lembutnya mengingatkanku bahwa dia seperti bidadari yang tenang menikmati sunyinya ruangan ini. Dan kemungkinan dia adalah gadis paling tinggi yang pernah kulihat, tetapi bahkan di antara orang luar negeri yang pernah kutemui, dia sangat berbeda.

"Eh, hai. Maaf sudah mengganggu, aku hanya ... agak tersesat." Ucapku sedikit gugup.

Dia membutuhkan waktu sejenak untuk merumuskan suatu respon sebelum berbicara. Setiap tindakan yang diambilnya terasa seolah-olah suatu koreografi yang dilakukan secara hati-hati.

"Mau duduk?"

... tak terduga. Aku pikir, diriku telah mengganggunya.

"Ummm ... terima kasih."

Perlahan aku melangkah ke kursi lain di seberangnya, gadis itu meletakkan cangkir teh dan cawan di atas meja kayu. Cara dia tidak melihat gerakanku dengan kepalanya memberitahu ... bahwa dia tidak bisa melihat. tidak seperti Kei, yang mengalami kerabunan pada matanya. Kalau dipikir-pikir, suaranya juga tidak memiliki aksen layaknya orang jepang. kupikir dia pasti setengah Jepang. Ketika diriku duduk, ketenangannya membuatku sedikit lengah. Sikap percaya dirinya yang santai membuat kesunyian ini sepenuhnya menjadi nyaman. Suasana yang menenangkan, sangat berbeda dari ruangan OSIS.

"Kurasa kamu siswa baru, kan?"

"Ah, ya. Aku baru saja pindah kemarin."

Diriku merasakan sesuatu yang berbeda. Pola bicaraku tidak cocok dengan formalitasnya, ditekankan oleh sapaan salamnya yang lembut.

"Saya Alice Hasegawa. Senang bertemu denganmu ..."

"Rendy, Rendy Hidayat."

Dia mengangguk sebelum memberi isyarat kasar ke arah cangkir tehnya.

Scar and ArrhythmiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang