Berjalan keluar menuju cahaya yang terang bersemangat, diriku akhirnya berdiri di depan bangunan utama dan bangunan tambahan, meskipun bagiku, kedua bangunan tersebut masih terlihat sama. Ini adalah pendapat yang terlontar dari dalam pikiranku setelah melihat orang-orang keluar dari sekolah, pergi ke gerbang atau asrama. Semua orang disekitar sini tampak mengetahui tujuan kemana mereka akan pergi. Dan diriku masih terus berpikir bahwa kebanyakan dari mereka tidak terlihat terlalu istimewa untuk menjadi siswa di sekolah khusus ini. sontak, terlintas lagi. Apakah itu membuat diriku salah satu dari mereka .. ?
"..."
Aku harus pergi ke suatu tempat, untuk mencegah diriku tersesat. Ini masih sekitar jam makan siang, tapi aku merasa lelah bukannya lapar. Kelelahan ini muncul selama aku berjalan dengan lesu menuju asrama, terpisah sedikit dari kompleks bangunan utama. Ada semacam taman antara sekolah dan asrama; semak-semak, bunga-bunga dan aroma rumput hijau segar yang memenuhi atmosfer. Aku baru sadar bahwa suasana ini terasa baru karena pertama kalinya diriku berada di Jepang.
Bangunan asrama yang besar dan terbuat dari bata merah. Seperti yang lainnya, rasanya terlalu mewah untuk apa yang kulihat dengan eksterior eropa abad 19. ku buka pintu asrama, rasa kagum dan terpesona layaknya berada di hotel bintang 4 atau bahkan 5 dengan interior modern nan simple yang nyaman untuk dipandang. Dibutuhkan lebih banyak waktu untuk diriku terdiam melihat sekeliling yang sebenarnya, ini hanyalah ruang tamu dari asrama ini. Aku menepuk wajahku yang melamun dan mencari kunci disaku ku yang tertulis 127.
Sekolah khusus ini memiliki 3 gedung asrama dan dimana diriku masuk di gedung yang tepat. Dengan model abad 19 diluar dan model modern didalamnya, aku memilih menaiki lift yang tersedia tidak jauh dari hadapanku. Menekan tombol lantai 2, dan terbukalah lorong yang memiliki beberapa pintu, mungkin ada 8-10 pintu.
"Kamar satu-dua-tujuh..."
Meskipun bagian luarnya penuh hiasan, bagian dalam asrama cukup baru, fungsional, dan diluar ekspetasi dengan kamar yang berwarna putih hambar. Sama seperti di gedung utama, ruang dan pintu lebar untuk mengakomodasi siswa yang menggunakan kursi roda. Hal yang sama berlaku untuk lift di ujung lorong ini. Aku memasuki ruangan dengan perlahan.
"Halo, ada orang didalam .. ?"
Dari dalam, aku mendengar beberapa suara langkah kaki, seorang anak berkacamata muncul dan berdiri di ambang pintu. Dia menatapku dengan seksama melalui kacamata yang sangat tebal.
"Siapa ini?"
Buta? Tidak, mungkin rabun? Dia mencondongkan tubuh lebih dekat ke diriku sampai hidung kami hampir bersentuhan. Napasnya berbau bawang putih.
"Rendy Hidayat, aku pindah dikamar ini. Mungkin aku harus memperken..."
Wajahnya tiba-tiba bersinar ketika dia sadar, dan dia berdiri tegak sambil menyodorkan tangannya dengan tersenyum. Tangannya yang tegang hampir mengenai perutku.
"Oh, Bro? Namaku Kei, Kei Nishimura."
"Ah, hai.."
Aku meraih tangan Kei yang berkeringat dan menjabatnya, sedikit bingung oleh perubahan sikap dan sambutannya yang tiba-tiba.
"Ada beberapa orang yang mencurigakan masuk dan keluar dari kamar ini sebelumnya."
"Itu mungkin kenalanku saat mengantar barang-barangku." Ucapku santai dengan keheranan kei.
"Kenalanmu? Kamu yakin? Karena mereka bisa jadi orang lain juga. Kau tahu, kita tidak dapat menilai buku dari sampulnya." Sambil mengerutkan dahi, kei berkata dengan nada dingin.
Pepatah yang diucapkannya tidak sesuai dengan kondisi tersebut yang dibiarkan tergantung di antara kita, dengan canggung ketika diriku mencoba memikirkan beberapa cara untuk merespons.
"Tenang, it's okay bro. aku sudah mengenalnya sejak lama.." Kecuali satpam yang ikut membantu mengantarkan barangku.
Dia terlihat gugup dan membuat beberapa gerakan tangan yang berlebihan.
"Kamu pria yang berani, Ren..dy. A..ku, ku..rasa aku tidak bisa mempercayai orang lain. Satu-satunya yang aku percayai adalah diriku sendiri." ucapnya dengan gugup.
"Apakah itu berarti, aku juga tidak boleh mengenalmu? " ucapku dengan nada sedikit menyinggung.
Dia memikirkan hal itu sebentar. Sambil memegang dagunya dan mengusapnya beberapa kali.
"Keputusan yang bijak. Sialan, kamu lebih pintar dari yang kulihat. Mungkin. Seperti apakah dirimu? Aku harap bukan seseorang yang pintar. Hahaha.."
Kemudian dia menyipitkan matanya dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi denganku, tetapi aku melangkah sedikit ke belakang untuk menghindarinya.
"Sudahlah, tidak masalah."
Lalu dia berbalik, meraba-raba sejenak untuk mencari pegangan pintu dan menutup pintu di belakangnya. Kemudian aku mengunci pintu yang bertuliskan 127.
Dinding dan linen yang putih suram, meja yang terbuat dari beberapa jenis kayu ringan. Tirai yang jadul. terlihat seperti kamar rumah sakitku waktu di Indonesia. Tasku terduduk di kaki tempat tidurku, tampak jauh lebih kosong tanpa adanya foto dan hiasan dinding. Lemari itu terbuka, penuh dengan pakaianku. Juga, tampaknya ada sejumlah seragam sekolah yang tergantung di sana juga. Sebuah catatan kecil berada diatas meja.
"Hai Rendy-san. Kami telah menyusun barang-barang dan merapikan tempat tidur Anda. Mereka mengatakan bahwa jika kamar ini merasa tidak cocok dengan anda, maka anda bisa melapor dengan pergi ke kantor besok. Jika Anda memiliki masalah lain, Anda dapat menghubungi kami."
"Salam, Naoki."
Naoki, wanita yang menemaniku selama diperjalanan menuju sekolah ini. Seorang yang ramah dan terlihat professional dengan pekerjaannya.
Yah, setidaknya aku tidak perlu khawatir menyusun barangku lagi. Aku berfikir akan melakukannya setelah sampai dikamar ini. Aku meletakkan catatan itu di atas meja dan berbaring di tempat tidur, merasa kehabisan tenaga walaupun hanya berjalan-jalan sebentar. Berbaring di sana membuatku ingin membaca sesuatu, tetapi aku tidak membawa buku atau hiburan lain selain smartphone yang bertuliskan "No Signal". Mungkin kedepannya, aku akan menggunakan telepon di sekolah jika aku ingin menghubungi seseorang. Termasuk orang tuaku. Beberapa waktu berselang, dorongan gelisah terus tumbuh sampai aku harus berdiri. Mungkin karena stress atau semacamnya. diriku cukup gugup dan khawatir tentang apa yang kuderita ini, sebelum datang dan sepanjang hari hari ini juga. Aku masih.., Sial, entah bagaimana aku harus mengalihkan pemikiran burukku ini, ini bukanlah masalah besar lagi ketika aku keluar dari rumah sakit. Aku hanya perlu menjaga tubuh ini tetap sehat. Besok, aku akan meminjam beberapa buku dari perpustakaan. Ya, aku perlu melakukannya, melihat betapa banyak pelajaran yang tertinggal dan perbedaan pendidikan di negara ini. Tetapi untuk sekarang ...
Melihat botol-botol obat yang tersusun rapi di mejaku. Aku mengambil satu dan mengocoknya hanya untuk mendengar isinya bergemerincing di dalam, dan kemudian membaca label pemakaian obat yang tertempel.
"Rendy Hidayat"
"Dua tablet setiap hari untuk tetap hidup."
Kata-kata yang seakan dirimu sangat bergantung dengan obat-obat kimia ini. Aku membenci hal itu, tetapi apakah aku punya pilihan lain? Sambil menghela nafas, aku memulai rutinitas harianku dengan meminum banyak obat dari setiap botol. Dengan tepat aku selalu melihat aturan pakai dari setiap obat tersebut.
"..."
Aku berbaring lagi, merasa hampa dan tidak pasti, dan setelah itu aku terus menatap langit-langit yang kosong dan asing untuk waktu yang lama. Masih belum terbiasa dengan suasana ini, bahkan setelah kegelapan jatuh dan bayangan panjang melintasi seperti tangan menutup mataku. Seprai terasa sedikit lebih nyaman dan hangat. Segera warna gelap kegelapan yang merupakan langit-langit tampak seperti langit-langit di malam hari, dan itu menjadi satu-satunya hal yang kukenali. Malam itu mengingatkan diriku untuk tidur, dan aku merasakan dinginnya ketidaktahuan dan rasa takut merayap di tulang punggung ku. diriku terus melayang jauh dari dunia nyata ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scar and Arrhythmias
RomanceSeorang anak laki-laki SMA yang memiliki sebuah penyakit jantung. Kemudian dia pindah ke sekolah yang khusus menerima siswa yang disabilitas. Disana dia bertemu seorang perempuan yang memiliki bekas luka dikarenakan suatu kejadian. Pertemuan itu mul...