1.8 The First Meeting

72 7 0
                                    

Perpustakaan ini begitu besar, dengan atmosfer senja yang menyelimuti. Sambil berjalan menyusuri lorong-lorong sempit dari rak-rak buku besar ini, aku melihat beberapa buku itu secara acak, kadang-kadang mengambilnya untuk membaca uraian buku tersebut, dan ada beberapa buku yang kubawa karena isinya yang membuatku tertarik. Dalam beberapa saat, diriku telah membawa setumpuk buku di tanganku. Kupikir diriku tidak akan lama terjebak di ruangan besar ini. Kehangatan perpustakaan ini meresap dan mengontrol pikiranku untuk bertahan lebih lama. Tentu, ada banyak buku bergambar dan huruf Braille yang tersebar di mana-mana, tetapi memang seperti itulah perpustakaan. Seolah-olah suasana hati yang tenang ini terasa sama ketika berada di ruangan tempat diriku minum teh bersama Alice.

Diriku mencapai ujung lorong dan menemukan sebuah meja, yang biasa digunakan untuk belajar ataupun membaca. Melangkah lebih jauh, aku menemukan tempat yang bagus di belakang. Menaruh tumpukkan buku yang kubawa di meja tersebut dan menarik kursi yang terlihat empuk. Ketika diriku melihat sekeliling, aku melihat seseorang yang kukenal duduk di salah satu kursi diseberangku.

Itu gadis berambut gelap panjang dari kelasku. Orang yang menyelinap keluar kelas sebelumnya. Dia membaca buku begitu dekat dengan wajahnya yang membuatnya terlihat seperti dia benar-benar menyukainya. Dari prilakunya yang kulihat hari ini, diriku menganggapnya sebagai siswa yang nakal daripada seorang kutu buku. Bahkan, menghilangnya secara misterius dari kelas menimbulkan berbagai macam spekulasi di kepalaku. Sebelum aku menyadarinya, aku berjalan menuju gadis misterius itu. Kupikir tidak ada salahnya memperkenalkan diri seperti yang kulakukan dengan orang lain. Lagipula dia teman sekelasku. Berjalan ke kursi lainnya, dan meletakkan buku-bukuku di sampingnya.

Gadis itu menoleh, menatapku dengan rasa sedikit takut. Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya sedekat ini. Di bawah poninya yang panjang, aku bisa melihat bagian wajahnya, setidaknya sepertiga atau setengahnya. Mataku langsung tertarik pada bekas luka yang ada dibagian wajahnya yang tersembunyi, tanpa sadar menatapnya sampai mata dari kami berdua saling bertemu. Untuk sesaat, diriku terkejut, dan mengalihkan pandanganku ke buku di tangannya, sebelum aku menyadari bahwa memalingkan muka mungkin hanya memperburuk keadaan. Butuh terlalu banyak detik untuk menenangkan diri dan mengingat untuk apa aku menghampirinya.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu."

"Itu ... tidak apa-apa."

Gadis itu jelas tidak terlihat baik-baik saja, tetapi diriku mencoba untuk mengabaikannya.

"Jadi, umm ... apakah kamu keberatan jika aku duduk di sini?"

Dia tampaknya sangat tidak yakin apakah diriku boleh duduk atau tidak, tetapi akhirnya dia mengangguk kecil.

"Ba ... baiklah."

Aku pun duduk di sebelahnya, dan dia bersembunyi di balik bukunya yang berjudul 'Life of Pi' ... diriku tidak tahu, buku macam apa itu, mungkin sebuah novel.

"Jadi, ehmmm ... maaf lagi karena mengagetkanmu. Aku Rendy."

Dia mendongak dari bukunya, berhenti sedikit sebelum menjawab.

"Aku ... tahu. Kita ... berada di ... kelas yang sama."

Bicaranya kaku dan begitu kecil sehingga nyaris tidak terdengar bahkan di perpustakaan yang tenang ini. Entah bagaimana, berpikir tentang kesanku terhadap dia yang 'nakal' adalah sesuatu yang salah.

"H-H-Hanako. Aku ... Hanako. ..."

Menahan keinginanku untuk mengatakan 'itu nama yang bagus', tetapi sungguh, itu adalah satu-satunya hal yang dapat kupikirkan sekarang. Diriku merasa seperti orang bodoh.

"Jangan biarkan aku mengganggu bacaanmu lagi. Aku akan ... membaca buku-buku ini jika kamu tidak keberatan." Sungguh, diriku merasa gugup. Seketika embun di balik rambutku muncul.

Scar and ArrhythmiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang