SEPULUH

40 4 0
                                        

Aku mencintaimu sederas hujan,

tapi kamu malah berteduh untuk menghindar.

Kamu sudah tidak punya waktu lagi untukku. Kenapa? Apakah karena di sekitaran bulan ke dua puluh empat ini, kamu sudah mulai berpikir kalau waktu yang kamu habiskan bersamaku itu sia-sia semuanya? Maka dari itu, kamu ingin menjaga jarak dariku.

Menunggu sampai aku juga bosan berada di posisi seperti ini, lalu berbalik meninggalkanmu?

Jika itu keinginanmu, maka keputusanku adalah angkat tangan. Tapi tetap saja, aku tidak mau mundur duluan. Sebab dua puluh tujuh bulan yang lalu, aku yang maju lebih dulu. Memang benar kalau dunia ini berputar. Tidak ada sesuatu yang tidak berubah. Tapi aku yakin, sebenarnya tidak ada yang tahu kalau kita berdua ikut berubah. Memang tidak ada yang tahu kamu dan aku sudah seretak ini. Kita, siap hancur dalam sekali senggol.

***

Suara-suara di luar teredam sempurna saat Shilla memasang dua buah earphone di telinganya. Dari sana, terputar alunan musik klasik yang katanya bisa membuat jiwa sembuh. Sejak berpisah dengan Cakka, Shilla enggak pernah lagi merasakan hangatnya sebuah peluk. Dunianya hanya sebatas kamar bercat biru muda dan beberapa lembar buku keluaran terbaru. Sambil duduk di tepi ranjang, Shilla melantunkan alunan musik yang akhir-akhir ini mulai terngiang di benak. Tetapi bukannya membuat sembuh, Shilla malah mendadak mellow. Sungguh, kalau boleh jujur dia ingin sekali berlari kembali kepada Cakka. Hanya saja, logikanya terlalu kuat untuk dipatahkan. Siapa, sih, yang pengin jatuh ke lubang sama dalam waktu berdekatan?

"Shill."

Shilla terkejut dan segera menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka, lalu melepas earphone-nya.

"Ketuk dulu dong," protesnya dengan wajah malas. Shilla sudah mengingatkan Sadewa berkali-kali, tapi kakaknya itu selalu lupa.

"Oh, oke. Sorry." Sadewa kembali menutup pintu dan mengetuk dari arah luar. "Boleh masuk enggak?" tanyanya.

Shilla menyahut malas. "Hm." Enggak lama setelahnya pintu kembali terbuka dengan kepala Sadewa yang menyembul.

Sadewa masuk ke kamar Shilla dengan kaos abu kebesaran tanpa lengan, dan celana pendek rumahan. Tangan kanannya menjinjing plastik transparan yang tahu isinya adalah martabak.

"Nih, buat lo. Mama tadi enggak sempat masak nasi, di meja makan ada Dunkin."

Shilla enggak menjawab, diam aja saat Sadewa meletakkan plastik itu di sampingnya. Tapi ketika Sadewa mau ke luar, baru Shilla bicara.

"Lain kali, enggak usah hubungin Cakka lagi," katanya. Shilla bias menangkap kerutan samar yang muncul di kening kakaknya.

"Why?"

"Putus."

"Apanya?"

"Kami, lah." Shilla malas banget memperjelasnya. Sadewa kadang-kadang suka lemot kalau mikir, dan sepertinya sekarang kelemotan itu lagi kambuh.

"Lo putus sama Cakka?"

"Hm."

"Sejak?"

"Kepo."

"Hm ... ini nih, kebiasaan warga +62. Nanya dikit langsung dibilang kepo."

"Apaan, ih, sana!" Shilla mendorong baru Sadewa yang sudah duduk di sebelahnya, berusaha mengusir cowok itu ke luar, meskipun gagal karena Sadewa memakai tenaga penuh biar enggak goyang karena serangan Shilla.

"Cerita dulu, cepet, kenapa?" desak Sadewa.

"Udah lama, kok." Shilla masih mendorong-dorong.

"Ya, tepatnya kapan, kenapa gitu?"

"Enggak penting, ah!"

"Idih!" Sadewa memukul balik bahu Shilla. Enggak terlalu keras, tapi cukup untuk membuatnya mengaduh. "Kalo bukan Cakka, gue harus nitip lo ke siapa? Ify? Enggak mungkin kan, orang dia punya pacar. Enggak mungkin gue minta dia monitor kegiatan lo."

"Emangnya gue kenapa harus dimonitorin segala?"

"Lo tuh suka ngilang-ngilang enggak ada kabar, dan cuma Cakka yang selalu berhasil ketemu lo. Nyelip di perpus lah, Gramedia lah, sampai lo sembunyi di kolong ranjang juga mungkin Cakka bakalan ketemu. Sama kayak tadi sore, ke mana aja lo dihubungin enggak aktif?"

Shilla menggaruk pelipisnya yang enggak gatal sama sekali. Sadewa ini benar-benar titisan Mama kayaknya. Kecepatan bicaranya melebihi kecepatan rambat suara sendiri. Shilla jadi pusing mendengar omelannya. Tapi Shilla jadi mendadak ingat lagi pertemuannya sama Cakka, dan percakapannya sama Erika tadi sore. Mungkin memang benar kata Cakka, dia harus cerita ke orang rumah kalau mereka udah enggak ada hubungan apa-apa lagi. Shilla bukan jadi tanggungjawab Cakka lagi, dan bagaimanapun alasannya, Sadewa atau siapapun itu enggak berhak meminta bantuan sama Cakka lagi untuk mencari Shilla.

Kedua telapak tangan Shilla berada di atas lutut dan dengan punggung yang tegap, dia menarik napas dalam-dalam sebelum memulai dongeng. Berusaha menggapai sebanyak mungkin oksigen kalau-kalau dia kehabisan pasokan oksigen untuk dihirup nantinya, dan berujung mendapat protes dari Sadewa.

Shilla masih ingat bagaimana rasanya dia benar-benar pengin menembak dirinya sendiri saat melakukan kesalahan terbodoh sepanjang masa dulu. Bagaimana bisa dia mengerjai Cakka habis-habisan tanpa memikirkan penyebabnya? Mungkin enggak ada yang tahu, tapi dari hari pertama mereka berpisah saja, Shilla sangat menyesalinya.

Sebab setelah putus dan Cakka muncul di pasaran lagi, Erika adalah sasaran utamanya setelah terjebak bersama Shilla dua tahun.

Sebenarnya, Shilla merupakan satu-satunya dari segudang mantan pacar Cakka yang bisa bertahan lama dengan cowok itu, dan dia off-limits.

Sampai-sampai Shilla yakin pasti semua orang berpikir kalau Cakka membutuhkan waktu yang lama untuk melupakannya.

Namun kenyataannya justru cowok itu melupakan Shilla lebih cepat dari semua orang melupakan mantannya dalam catatan sejarah. Bahkan tiga hari setelah putus, Cakka sudah menggandeng cewek lain untuk dijadikan gebetan, dan orang itu adalah Erika.

Akhirnya Shilla membasahi bibirnya dan mulai bercerita.

"Jadi awalnya tuh ...."

Di Antara Hujan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang