SATU

692 36 5
                                        

"Sebelum dia datang,

semestaku hanyalah konstalasi yang sistematis."

Dua puluh empat bulan lamanya aku buta karenamu. Semua yang bisa kulihat hanyalah kamu, kamu, lalu kamu, kamu lagi, dan selalu kamu. Aku tidak pernah melihat orang lain di sekitarku, sebaik apapun mereka. Sebab hadirmu membuatku berpikir, bahwa aku sudah tidak membutuhkan siapun lagi, selain kamu.

Dengan bodohnya aku berpikir, kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti dan dimengerti olehku. Maka dari itulah, aku tidak pernah butuh orang lain lagi. Setidaknya, saat itu aku kira pemikiran kita sama, kan? Makanya, kamu dan aku tidak pernah melibatkan siapapun ke dalam hubungan ini. Hanya ada kamu dan aku.

Aku tidak tahu bagaimana soal pemikiran yang lain. Kebanyakan dari mereka hanya percaya bahwa kamu dan aku memang pantas bersanding. Kemungkinan besarnya, saat ini pun mereka masih akan menerima semua cerita−meskipun sudah dua puluh empat bulan ini aku hilang. Namun, aku yang ragu untuk kembali. Tidak mungkin, kan, aku serta merta datang kembali hanya dengan alasan kamu sudah meninggalkanku?

***

"Aku, tidak tahu bagaimana cara menggunakan sayang.

Aku, hanya tahu mengapa kita satu sama lain, saling terikat."

Shilla baru saja keluar dari bilik kamar mandi sambil mengikat rambutnya dengan karet rambut hitam yang terselip di antara bibirnya. Setelah mengikat rambutnya menjadi satu ikat tinggi, ia langsung melipat baju seragam putih abu-abu sambil melihat pantulan dirinya di kaca. Cewek itu sudah lengkap dengan pakaian olahraga dan juga sepatu converse putihnya, saat memasukkan seragam ke dalam tote bag biru.

"Shill, tungguin gue!" Ify berteriak dari bilik sebelah.

"Iya, cepetan Fy! Kita udah telat banget, nih!" Shilla balas berteriak.

Terdengar suara krasak-kresek sebelum Ify ke luar dengan menenteng tas kresek berisi seragamnya. Dengan terburu-buru, mereka berjalan ke kelas untuk menaruh barang-barang di kolong meja.

Sesampainya di lapangan, Shilla menarik tangan Ify menuju ring basket−tempat pak Aton sedang duduk dan memberikan pengarahan. Kening Shilla mengerut tipis saat melihat kelas XII IPA-3 duduk bersebelahan dengan teman-teman sekelasnya, XII IPA 1. Pasalnya hanya kelas Shilla yang seharusnya olahraga di hari ini, tapi sepertinya ada kelas lain yang ternyata juga ikut bergabung.

"Maaf Pak, kami terlambat." Shilla berusaha mengatur napasnya yang tersengal karena berlari ketika ia dan Ify sudah berada di dekat dengan Pak Aton−guru olahraga. Semua mata otomatis beralih memerhatikan mereka.

"Oh kalian, langsung duduk saja. Ketua kelas sudah kasih tahu kalau kalian bantu Bu Ride mengecek list siswa kelas sepuluh yang belum kebagian seragam batik," kata Pak Aton yang langsung membuat Shilla dan Ify mengangguk.

Kemudian dari arah yang berlawanan, datang seorang cowok dengan baju olahraga yang sengaja dikeluarkan dari celana. Napasnya tersengal-sengal dengan bulir keringat sebesar biji jagung lepas di pelipis. Saat terkena sinar matahari, rambutnya tampak sedikit kemerahan meskipun sebenarnya cowok itu berambut hitam.

"Maaf Pak, saya telat." Cowok itu berkata sopan. Sekarang, dialah yang dipandang oleh kedua kelas, kecuali Shilla. Cewek itu langsung melempar tatapannya ke arah lain.

"Kamu dari mana saja, Cakka?" Pak Aton senewen melihat cowok itu.

"Habis nyerang, Pak. Di taman kota." Tampang polos cowok itu yang seolah-olah sedang membicarakan menu makan siang, malah mengundang tawa semua yang menyaksikan di lapangan. Sebab dia terlalu jujur saat ditanya Pak Aton yang notabene adalah guru paling killer di Sevit High School.

Di Antara Hujan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang