3 - [Tidak Peka]

631 68 62
                                    

Suatu hari aku akan merebut hatimu.
Tapi, tidak sekarang.

Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. Untungnya, Naura sudah sampai dan tidak perlu mendengar ocehan Bu Widya yang notabenenya sebagai Wakasek Kesiswaan di sekolahnya. Setelah turun dari ojek, Naura langsung membayar ongkos dengan jumlah yang telah tertera di ponsel milik pria tersebut. Naura langsung bergegas lari karena satu menit lagi pintu gerbang akan ditutup.

Setelah sampai di kelasnya, Naura pun langsung berjalan menuju bangkunya dan sudah ada Nadine—teman sebangkunya—yang sedang asyik mendengarkan lagu lewat headset.

"Pfhhhhh...," desah Naura sambil meletakkan tasnya dan duduk di sebelah Nadine.

"Kok lo baru dateng sih?" tanya Nadine sambil menatap wajah sahabatnya tersebut.

"Soalnya gue tadi naik ojek, untung aja gue nggak telat."

"Nggak lo godain kan mas ojeknya?"

"Boro-boro mau godain, orang dia aja diem selama perjalanan. Terus pas bayar juga masih diem. Gue sih mikirnya orangnya lagi sariawan kali ya."

Tak lama setelah itu, Bu Dewi pun memasuki kelas dan seperti biasanya para murid berdoa bersama sebelum memulai pelajaran lalu dilanjut dengan kegiatan belajar-mengajar.

"Sudah jelas?" tanya Bu Dewi meyakinkan.

"JELASSSS!" jawab seluruh murid secara kompak. Padahal kenyataannya, semua penjelasan dari Bu Dewi—guru Biologi—ini tidak ada yang mengerti. Cara mengajar yang dilakukan itu sangat membosankan dan membuat murid mengantuk.

"Ra, lo paham nggak sih?" bisik Nadine pada Naura yang tengah menopang dagunya dengan kedua tangannya dan menghadap ke arah papan tulis tersebut.

Naura pun menoleh pada Nadine. "Sebenernya nih ya, Bu Dewi tadi jelasin apaan sih?" tanya Naura dengan wajah polos dan bingungnya.

"Gue sebenernya kasian lama-lama liat Bu Dewi. Liat deh masa pas Bu Dewi njelasin nggak ada yang nyimak. Kaya nggak dihargai gitu. Tapi, sebenernya gue juga sih."

Mereka berdua pun tertawa dan sudah menjadi kebiasaan disaat guru yang mereka anggap tidak jelas, mereka selalu membicarakan guru tersebut. Terkadang mereka masih sering makan disaat jam pelajaran berlangsung. Hal tersebut sudah sangat biasa. Sudah sejak kelas sepuluh mereka seperti itu dan tidak pernah berubah. Mungkin tidak akan pernah bisa berubah.

"Jangan lupa PR dikerjakan ya, Assalamualaikum!" ucap Bu Dewi sambil berjalan keluar dari kelas.

"Kantin yuk!" Nadine beranjak dari bangkunya dan merapikan bajunya yang sedikit berantakan tersebut.

***

Akhirnya mereka berjalan menuju ke kantin dan Naura lebih memilih duduk di salah satu tempat yang kosong dan Nadine lah yang memesankan makanan. Naura mengeluarkan ponsel miliknya dan membuka social media. Tiba-tiba saja saat ia sedang asyik memainkan ponselnya, ternyata Devan sudah ada di sebelahnya.

"Hai, Ra. Sendiri?"

"Eh Devan, nggak gue tadi sama Nadi kok. Tuh dia lagi mesen siomay," ucap Naura dengan jujur.

"Nadi?" Devan pun mengernyitkan dahinya saat mendengar nama Nadi. Setahu dia, di sekolah ini tidak ada yang mempunyai nama seperti itu.

"Iya, Nadine maksudnya. Gue lebih suka aja manggil dia Nadi soalnya lucu aja hehe," jawabnya sambil terkekeh.

"Oh gitu... eh—" ucapan Devan pun terhenti saat Nadine sudah datang dan membawa nampan yang berisi dua piring siomay.

"Makan dulu ya, Van. Cacing-cacing di perut udah curi semua nutrisi gue nih." Naura pun langsung menyantap makanan yang sudah ada di depannya tersebut. Sedangkan Devan lebih memilih untuk menunggu Naura sampai selesai makan.

Devan Prasetya.

Laki-laki yang sedari dulu sudah sering mendekati Naura. Tapi, Naura tidak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan kepada Devan. Ia senang bisa dekat dengan Devan karena bagaimanapun Devan termasuk laki-laki yang dikagumi banyak perempuan di sekolahnya. Apalagi Devan tergabung dalam klub basket di sekolahnya, otomatis banyak sekali penggemar yang sering mencoba mendekati Devan. Tapi hati Devan sudah untuk Naura. Meskipun begitu, Devan tetap selalu mendekati Naura dengan kemampuan yang ia punya. Devan tidak pernah memaksa. Memang, Devan belum pernah menyatakan perasaannya kepada Naura karena ia merasa belum siap saja dengan jawaban yang dikatakan oleh Naura. Hal yang membuat Devan jatuh cinta dengan Naura adalah sifat apa adanya yang dimiliki oleh Naura. Menurutnya Naura itu unik dan menarik, beda dari perempuan lain.

"Van, kok nggak makan?" tanya Naura yang baru sadar bahwa daritadi masih ada Devan di sebelahnya.

"Kode kali minta disuapin," ucap Nadine asal dan setelah itu menyeruput es yang ada di genggamannya.

"Ye, sok tua lo Din," Devan pun mengambil tisu dan melemparkannya ke Nadine.

"Maaf ya Pak, perasaan sok tau deh kok jadi sok tua. Situ kali yang tua."

"Bo—"

Belum sempat Devan menyelesaikan ucapannya, Naura pun akhirnya angkat bicara. "Jangan berantem mulu ntar jodoh tau rasa deh. Ya udah gue mau ke kelas duluan ya, bye!"

Naura pun beranjak dari tempat ia duduk dan melambaikan tangan kepada mereka.

"Temen lo nggak peka banget ya, Din."

"Bukan nggak peka. Tapi, lo aja yang cupu nggak mau ngungkapin perasaan." Nadine pun terkekeh geli.

"Sialan lo."

Ya mau bagaimanapun Devan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai sekarang ia hanya bisa mengagumi Naura dalam diam, tanpa perempuan itu ketahui. Lagi pula jika Naura tahu, tidak menjamin jika Naura menjadi miliknya.

***

Aku, Kamu, dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang