9 - [Terungkap]

238 12 8
                                    

Semua orang cerdas,
namun tidak dalam bidang yang sama.

Naura akhirnya bisa bernapas lega karena malam ini ia terbebas dari yang namanya PR. Hal tersebut merupakan kebahagiaan tersendiri bagi setiap murid. Bisa merasakan udara segar tanpa harus terbebani dengan tugas. Yang jelas Naura bahagia.

Saat sedang asyik menonton salah satu acara televisi, tiba-tiba Rianty datang dan duduk di sebelah Naura. "Minum obat dulu Naura, tadi kamu habis hujan-hujanan gitu." Wanita itu menyodorkan gelas berisi air putih dan satu butir obat yang dibawanya.

"Mama ih, Naura nggak hujan-hujanan. Naura pulangnya juga udah terang kok. Mama mah selalu aja apa-apa minum obat."

"Itu tandanya Mama sayang sama kamu. Masih untung ada yang sayang, kamu itu harus bersyukur."

"Banyak kok yang sayang sama Naura."

"Siapa? Yang nganterin kamu pulang tadi? Siapa itu namanya...." Rianty mengingat-ingat lagi nama laki-laki itu. "A... Aziz atau si –"

Naura memotong pembicaraan wanita itu. "Azka namanya Mamaaaaaa... kenapa bisa jadi Aziz sih!"

Wanita di sampingnya tersebut tertawa tergelak-gelak. Diletakkannya gelas dan obat yang ia bawa di meja. "Azka anaknya gimana Ra?"

"Apa sih, Ma!" Naura memutar bola matanya malas sembari mengambil remot di sebelahnya dan terus mengganti acara televisi.

Wanita itu terus menggoda putrinya sehingga Naura tak kuasa menahan rasa malunya. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Ayo cerita dong, Mama kepo nih."

"Dia anaknya aneh gitu."

"Ganteng gitu kok dibilang aneh. Pantesan nggak ada yang mau sama kamu. Bersyukur dong kamu Azka masih mau temenan sama kamu...."

"Mama kok jelekin anaknya sendiri sih, ih!"

Perempuan itu sudah mengerucutkan bibirnya kesal. Rianty justru tertawa melihat tingkah laku putrinya tersebut. Wanita itu mendekat dan merengkuh kepala putrinya. Perempuan tersebut sudah berada dalam dekapan sang Mama.

Berada dalam dekapan Rianty adalah tempat ternyaman bagi Naura. Merasakan betapa hebatnya rasa sayang sang Mama terhadap dirinya. Tak henti-hentinya Rianty mengecup pucuk kepala milik putrinya.

Terdengar langkah kaki dari arah belakang mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah Juan. Namun mereka masih saja tetap pada posisinya.

"Dek kamu itu belajar sana biar pinter kaya Papa. Ini lagi tontonan kamu Anak Jalanan gini, mending kamu nonton Doraemon Dek...."

"Doraemon hari Minggu pagi, Pa."

"Ya udah nonton Sinchan aja."

"Sinchan itu sebelumnya Doraemon. Papa gimana sih...."

Rianty yang sedari tadi hanya mendengarkan perbincangan atau yang lebih disebut perdebatan tersebut akhirnya angkat bicara. "Nggak selamanya sinetron itu nggak mendidik lho, Mas."

"Iya kamu kan yang suka sinetron, apalagi sinteron yang cinta-cintaan nggak jelas itu."

"Ih jelas kok, Masnya aja yang nggak gaul."

Naura hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan perbincangan kedua orang tuanya. Mereka sudah berumur namun masih terlihat seperti masih muda. Terkadang masih sering bertengkar karena hal yang sepele, seperti orang pacaran saja. Mereka berdua tidak ingat umur sama sekali.

"Ma, Pa inget umur."

"Papa kamu duluan tuh yang mulai. Udah ah Mama mau nyiapin makan dulu." Wanita itu beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam.

Aku, Kamu, dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang