Dasi kupu-kupu hitam menjadi pelengkap terakhir untuk tuksedoku hari ini, hari yang sudah kutunggu-tunggu, hari pernikahanku. Semalaman aku tidak bisa tidur. Yang kulakukan hanya tersenyum sepanjang malam. Meski begitu, lingkar hitam tidak berani menunjukkan diri di bawah mata biruku. Aku terlalu bahagia untuk hari ini.
Aku masih berdiri di depan cermin, memastikan penampilanku sempurna untuk mempelai wanitaku, cintaku, bidadariku, Vanessa Clarkson-yang sebentar lagi akan menjadi Mrs. Morgan. Aku membayangkan tubuh ramping melekuknya terbalut gaun pernikahan kami. Rambut pirang panjangnya tergulung, semakin indah dengan penutup kepalanya. Bibirnya yang merah merekah, begitu lembut ketika aku menciumnya. Bayangan bulan madu kami yang akan datang-
"Johnny, kau sudah siap?" kata adikku, Pete, yang tiba-tiba masuk ke kamarku, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum padanya. Pengujian senyum pertama di depan orang lain, khusus untuk hari ini. "Apa aku sudah terlihat tampan, sobat?" kataku sambil membuka tangan.
Pete hanya menyeringai. Sejujurnya, aku tidak perlu komentar darinya. Para wanita bahkan sudah jelas akan mengagumi aku daripada dia. Betapapun dia memang nyaris mirip diriku. Dua tahun lebih muda, badan atletis yang sama, rambut cokelat cepak yang sama, tinggi yang sama, bahkan sekali orang melihatku dan dia, orang akan tahu bahwa kami kakak beradik-seringnya, mereka menyebut kami kembar.
Aku tidak dekat dengan siapapun termasuk adikku sendiri. Aku tidak tahu menahu tentang kepribadiannya hingga membuatnya lebih tidak menarik bagi para wanita. Mungkin aku memang lebih brengsek daripada dia-setidaknya teori itu nyaris terpatahkan karena hari ini adalah hari pernikahanku. Akhirnya aku berkomitmen.
"Sudah jelas siapa yang playboy, siapa yang tampan. Kau luar biasa hari ini, bung," katanya sambil menepuk bahuku.
"Playboy bukan lagi nama tengahku. Hatiku sepenuhnya milik Vanessa."
Bualan yang bagus, kan? Tapi itu benar. Sangat benar. Aku mencintai wanitaku.
"Johnny," panggil kakak perempuanku, Carol, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Dia dengan gaun merah muda yang seragam dengan kebanyakan keluarga yang akan menghadiri acara pernikahanku. Rambut kecokelatannya telah disanggul sempurna.
Jika aku tak salah ingat, seharusnya Carol berada di kamar Vanessa karena dia adalah pendamping wanitanya. Lalu untuk apa dia di sini?
Biasanya, ketika Carol tiba-tiba datang seperti itu, sesuatu yang konyol tengah terjadi.
Aku mendengus sambil merapikan setelanku. "Apa yang kau lakukan di sini, Carol? Kau tidak seharusnya di sini."
"Vanessa..." Carol membiarkan kata-kata itu menggantung, membuat keadaan terasa semakin konyol. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di sini.
Perhatianku seketika teralihkan. Aku menatap Carol secara langsung, dengan tatapan bertanya-tanya. "Kenapa dengan Vanessa?" tanyaku bingung.
"Apa kau sudah menghubunginya?"
"Untuk apa aku menghubunginya? Kami akan bertemu di gereja tiga puluh menit lagi."
"Dia..." Carol menggantungkan kalimatnya lagi. Sifat menyebalkannya mulai kentara di sini.
"Kau membuat ini semakin tidak mudah, Carol," kata Pete. "Ada apa?"
Dengan segala keberanian, Carol menghela napas keras dan akhirnya berkata, "Johnny, maafkan aku. Vanessa tidak ada di kamarnya. Kau sebaiknya menghubungi dia."
Tunggu.
Apa?
Ini benar-benar berakhir konyol, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed on You
RomanceBook #1 of Cursed Trilogy √ Completed √ Predikat playboy telah melekat pada diri Johnny Morgan. Tampan, kaya, berkarisma, penuh dengan lelucon; menjadikannya seorang pria matang yang sempurna. Namun ketika ia memutuskan untuk menjatuhkan hatinya pa...