"Terima kasih, Mr. Craig. Anda bisa mengandalkan kami." Aku menjabat tangan Holston Craig di lobi sebelum mengakhiri pertemuan kami. Pete menjabatnya juga dengan sopan.
Holston Craig berlalu melewati pintu putar gedung ME, meninggalkan aku dan Pete yang masih membeku di lobi. Ketika kami berdiri semacam ini di lobi kantor, itu adalah suatu pemandangan tersendiri bagi para karyawan wanita yang lalu lalang seraya mengangguk sopan pada kami berdua.
Aku tak akan menyalahkan mereka ketika melihat dua pria lajang berdiri berdampingan dengan prospek yang bagus untuk dilirik—hei, mereka juga sedang berusaha.
Aku dan Pete saling berpandang-pandangan. Aku menyeringai memancarkan pesona ketika melemparkan tatapan penuh arti pada adik laki-lakiku. Mengangkat bahuku, aku berbalik lebih dulu menuju ke lift, meninggalkan Pete di tempatnya.
Adik tetaplah adik yang mengekor pada kakaknya. Pete mengikutiku. "Craig terlihat terkesan," katanya berusaha memecah keheningan.
"Kita melakukannya, Pete. Kita mendapatkannya." Aku menekan sekali panel pada lift sembari menunggu angka bergerak turun. "Bisakah kau membayangkan puluhan juta dolar menanti?" Aku tersenyum bangga pada hasil kerja kerasku. Aku mendapatkan perhatian taipan Spanyol itu.
"Tentu kau melakukannya," gumam Pete.
Aku mengerutkan dahi mendengar gumaman Pete yang terdengar aneh di telingaku. Carol dan Pete kurang lebih mempunyai kepribadian serupa ketika mereka mempunyai suatu pikiran tentang lawan bicaranya. Dan kali ini, Pete memendam sesuatu tentangku. Aku bahkan bisa melihat gerigi di otaknya sedang berputar dengan sibuknya, mengabaikan posisiku di sampingnya. Pete sukses mendapatkan perhatianku. Kali ini aku menatapnya bertanya-tanya.
Pete mengalihkan pandangan, merasakan ketidaknyamanan karena aku menatapnya. Suara denting lift menggema ke seluruh lobi ME, memecah rasa penasaranku. Hingga aku hanya berdua dengan Pete di ruang berbalut baja nan sempit ini, aku membiarkan pikiranku tertiup begitu saja.
Namun kali ini, Pete bereaksi. "Ada yang ingin aku bicarakan, Johnny."
"Kau bisa ke ruanganku," kataku tenang sambil memalingkan kembali wajahku, melihat angka di atas pintu.
"Kupikir kali ini lebih baik ke ruanganku," gumamnya.
Aku beralih menatapnya kembali, kali ini dengan alis terangkat. Ini bisa saja menjadi penting. "Kenapa harus di ruanganmu?"
Ekspresinya datar dan aku tidak bisa menebak suasana hati Pete saat ini. Yang kutahu, ekspresi itu ditunjukkan ketika dia sedang gusar. Aku tak tahu apa yang salah di sini. "Aku serius, Johnny."
"Kau belum menjawabku, Pete," hardikku. "Lagi pula, kita hanya berdua di lift ini. Apa salahnya jika kita membicarakannya seperti sedang membicarakan film yang sedang diputar minggu ini?"
Pete menatapku sungguh-sungguh. "Karena ini bukan tentang film yang sedang diputar. Ini sesuatu yang serius." Dia mengusap wajahnya seolah lelah menghadapi orang seperti aku. Memang seperti apa aku ini? "Aku tak akan membicarakannya di lift sialan ini. Aku akan menjawab nanti. Sekarang lebih baik ke ruanganku. Hanya sebentar, aku janji."
Dan ketika Pete Morgan mengatakan serius dengan wajah yang serius, maka sesuatu yang serius memang benar sedang terjadi.
Sumpah. Aku tak mau disebut sebagai setengah kembarannya jika tahu wajah seriusku seperti itu.
Aku hanya mendesah tanpa menyetujui. Pada akhirnya aku tetap mengikuti Pete ke ruangannya yang masih satu lantai denganku. Berjalan ke lorong lain, mengabaikan lorongku sendiri di mana Becky mungkin sedang menungguku di depan dan akan menampilkan senyuman formal. Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Pete hingga tidak bisa dibicarakan di ruanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed on You
RomanceBook #1 of Cursed Trilogy √ Completed √ Predikat playboy telah melekat pada diri Johnny Morgan. Tampan, kaya, berkarisma, penuh dengan lelucon; menjadikannya seorang pria matang yang sempurna. Namun ketika ia memutuskan untuk menjatuhkan hatinya pa...