Aku mabuk selama—aku tidak bisa mengingat. Aku menghabiskan berbotol-botol alkohol dan tidak satupun yang bisa menenangkanku atau menghilangkan Vanessa dari kepalaku.
Bagaimana bisa aku melupakannya? Aku mencintainya.
Kenapa dia meninggalkanku? Pertanyaan itu muncul lebih dari seribu kali di kepalaku. Aku memutar-memutar ingatanku agar mendapatkan jawaban untuk pertanyaan itu. Mungkin dia marah karena aku terlambat menjemputnya di pemotretan, mungkin dia marah karena sepatu yang kubelikan kekecilan, atau mungkin aku tidak menyadari bahwa aku pernah mengabaikan panggilannya—apa itu terdengar konyol? Tapi bisa saja!
Pikiranku melayang mengingat hari bahagiaku dan Vanessa. Seharusnya puncak hari bahagia kami adalah hari pernikahan kami. Tapi tidak, kami tidak pernah mencapai puncak. Aku tertawa di bawah pengaruh alkohol karena memikirkan itu.
Sialan,pernikahan yang batal.
~
Hari itu...
Ya, hari itu. Hari di mana aku melamar Vanessa. Hari di mana aku memberanikan diriku menjatuhkan komitmen pada seorang wanita.
Saat itu adalah akhir musim panas. Aku berdiri bersandar mobilku menunggu Vanessa selesai pemotretan di Central Park. Hatiku sedang bahagia membayangkan apapun yang akan terjadi malam ini. Dari kejauhan Vanessa melambaikan tangan padaku. Dia sangat cantik dengan gaun turquoise pendek yang berakhir di paha mulusnya. Kakinya jenjang. Dia mengenakan sepatu hak tinggi biru gelap. Rambut pirangnya tergerai sebahu. Bidadariku. Kecantikan yang luar biasa.
Vanessa berjalan ke arahku dengan anggun. Aku selalu menyukainya ketika berjalan di panggung dalam peragaan busana. Tapi ketika berjalan kearahku, itu adalah satu momen terbaik dari berbagai momen yang dilakukannya padaku.
"Hai, Sayang," kataku padanya. Aku mengecup bibirnya singkat. "Bagaimana harimu?"
Dia tersenyum. Senyum dari bibir merahnya yang memikat. "Merindukanmu." Itu adalah jawaban terbaik yang selalu dia berikan padaku dan aku tidak pernah bosan.
Aku membukakan pintu untuknya dan kami melaju ke tempat makan malam kami.
"Jadi, akan ke mana kita?" tanyanya.
"Ke manapun. Sebut satu tempat yang kau inginkan, kita akan ke sana. Bahkan jika kau meminta Paris sekalipun."
Dia tertawa, tawanya yang anggun, yang membuatku bertekuk lutut padanya. "Kau punya seribu cara untuk merayu, Johnny Morgan."
Aku mengambil tangannya dan membawanya ke bibirku, menciumnya. "Ya, seribu cara itu hanya untuk Vanessa Clarkson."
"Aku harus mengambil sesuatu di apartemenku, Johnny. Mungkin aku juga harus berganti pakaian."
"Aku sudah menduga kau akan mengatakan itu." Ya, dia memang selalu melakukan itu ketika selesai dari pemotretan, sebelum memutuskan untuk menghabiskan waktu bersamaku.
Aku melajukan mobilku menembus lalu lintas New York yang cukup padat. Sesekali aku melirik ke arah Vanessa yang sedang sibuk dengan ponselnya. Aku menyukai bagaimana wajahnya terlihat serius. Lebih lagi ketika di sela keseriusannya melakukan suatu hal; tangannya berada di tanganku yang sedang bebas, menggenggamnya. Seperti sekarang ini.
Rasanya aku tak akan bertahan lebih lama untuk tidak menerkamnya.
Kami tiba di sebuah apartemen berbintang di mana Vanessa tinggal. Aku bersikap jantan dengan membukakan pintu mobil untuknya. Jantungku sedang berdegup kencang saat ini. Tapi aku lebih daripada mahir untuk bersikap percaya diri. Aku melingkarkan lenganku di pinggang sempurna Vanessa. Aku sangat bahagia ketika dia berada di dekatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed on You
RomanceBook #1 of Cursed Trilogy √ Completed √ Predikat playboy telah melekat pada diri Johnny Morgan. Tampan, kaya, berkarisma, penuh dengan lelucon; menjadikannya seorang pria matang yang sempurna. Namun ketika ia memutuskan untuk menjatuhkan hatinya pa...