Sabtu, 4 Januari 2003
Udara yang menusuk tubuh. Pohon-pohon mulai berdaun namun di atas rantingnya masih terdapat tumpukan 'kapas' yang dingin . Jalanan bak permadani berwarna putih. Rumah-rumah, mobil-mobil, tumbuh-tumbuhan, semuanya memakai topi berwarna putih. Aku seperti sedang berada di dalam dunia dongeng, di Negeri Serba Putih.
Udaranya memang sangat dingin. Tapi itu tidak menghalangi orang-orang yang tinggal disini untuk bekerja. Semua orang tampak sibuk. Berjalan dengan cepat, mengayuh sepedanya dengan tempo yang cukup cepat menurutku. Hanya mobil saja yang kecepatannya tidak melebihi kecepatan yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Diantara keramaian orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya dalam cuaca dingin ini, tercium aroma makanan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Entah aroma itu datangnya darimana, tapi semakin lama semakin tercium. Membuat perut memanggil-manggil untuk diisi. Bisa kulihat, di sini selain terdapat banyak gedung-gedung tinggi dan megah, juga terdapat banyak warung-warung makanan. Mulai dari makanan ringan atau jajanan, sampai hidangan berat. Selain itu, toko-toko baju dan sepatu juga tak kalah banyaknya. Pantas saja, orang-orang yang tinggal disini gayanya sering menjadi sorotan orang-orang di dunia, seperti yang kulihat di tv.
Pemandangan seperti itulah yang menyambutku saat aku pertama kali aku menginjakkan kaki di negeri para pekerja keras, Negeri Sakura.
*
Keesokan harinya, aku terbangun dari tidurku karena kedinginan, padahal aku sudah memakai selimut yang tebal sebanyak dua lapis . Anggota keluargaku masih terbuai dalam mimpinya. Dalam udara yang dingin itu, aku berjalan mendekati jendela teras dan membukanya. Betapa sejuknya udara yang menyapaku pagi itu! Membuat kulitku kering dan merona. Tapi pemandangan yang kulihat dari tempat itu juga tak kalah indahnya. Subhanallah, putih semua!
Kebetulan dibelakang apartemenku terdapat sebuah taman bermain, dan dari tempatku berdiri saat ini aku bisa melihat ada beberapa anak yang sedang bermain di sana. Mereka berbicara bahasa Jepang, bahasa yang baru ku kenal, dan masih asing di telingaku.
"Chisato-chan, hayaku! Oikaketeyo!" (Chisato, ayo cepat! Kejar aku!)
"Chotto matte yoo, Arisa-chan, chotto yasumooyo... tsukareta yoo...." (Tunggu Arisa! Istirahat sebentar yuk.. Aku capek nih!)
"Sokkaa, jaa, uchi no iye ni ikou! Tabemono ippai aruyo!" (Oh oke! Kalau begitu, ke rumahku yuk! Ada banyak makanan loh!)
*
Sore hari itu, aku dan adikku, Fadlan, keluar dari rumah untuk bermain salju. Entah kenapa, jantungku berdebar. Mungkin karena untuk pertama kalinya, aku akan menyentuh salju, satu hal baru yang tidak bisa kutemukan di negaraku. Ah, senangnya!
Aku dan Fadlan menuju ke lapangan yang luas. Tidak ada siapapun disana. Lapangan itu seperti karpet putih. Seluruh lapangan ditutupi dengan salju, tanpa ada bagian yang cacat, tanpa jejak kaki, dan tanpa bekas sentuhan apapun. Untuk pertama kalinya aku menyentuh salju. Lembut, sangat dingin, dan langsung mencair bila diletakkan di atas tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakura Empat Musim
Non-FictionSatu di antara sekian untaian kalimat dari beragam kenalan yang kuterima saat usiaku genap dua puluh tahun. Ucapan selamat beserta doa tulus dari seseorang yang telah banyak membagikan ilmunya kepadaku. Skenario hidup manusia memang tidak bisa diteb...