Selasa, 14 Juni 2005
"Untuk semua murid, besok harus bawa buku bacaan masing-masing minimal satu buku ya!" Aoki sensei menambahkan lagi, di akhir 'sepatah dua patah'-nya yang kupikir akan segera ia tutup.
Reaksi kami-muridnya, berbeda-beda. Kiyoshi-kun, si rajin yang berkacamata yang duduk di barisan paling depan semakin lekat menatap sensei sembari membinarkan bola matanya. Anna-chan dan Ami-chan, dua orang bersahabat itu langsung saling berbisik, lalu tersenyum sendiri. Yuuka-chan, gadis paling pendiam yang pernah kukenal, menatap sensei dalam diam dari bangkunya di barisan paling belakang, entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tomoki-kun, si cerewet yang banyak tanya, yang duduk di sebelah Yuuka-chan, sedang mengangkat tangannya lalu melambaikannya agar diizinkan untuk berbicara oleh sensei. Namun sensei segera memberinya aba-aba untuk menurunkan tangannya.
Sedangkan aku, setelah senyum-senyum sendiri menatap teman-temanku, kukembalikan perhatianku pada sensei yang berdiri di depan papan tulis. Aoki sensei juga sedang tertawa menikmati respon yang kami tunjukkan.
Udara hari ini terasa lembab, pantas saja karena hari sudah memasuki pertengahan bulan Juni. Masa peralihan dari musim semi ke musim panas, dan bulan ini biasa disebut tsuyu, yakni musim hujan. Bulan yang hampir setiap hari selama sebulan menyajikan pemandangan hujan, membiarkan langit meneteskan air matanya.
Aoki sensei, wanita yang kira-kira berusia sekitar 30-an dengan rambut sebahu dan berkulit putih bersih memasuki ruang kelas sejak 15 menit yang lalu dan menyapa kami dengan senyum lembut khas miliknya.
Sebelum memulai proses pembelajaran, seperti biasanya, Aoki sensei yang merupakan wali kelas sekaligus merupakan sosok yang akan mengajarkan semua mata pelajaran di kelas kami, mengawali cerita pagi ini dengan sedikit membahas mengapa bulan ini dipenuhi dengan hujan. Dan setelah sekian menit, beliau mengganti lagi topik bahasannya. Aku cukup menikmati obrolan seperti ini di pagi hari, karena bagiku yang merupakan orang asing di negara ini, momen seperti sekarang-lah yang bisa kujadikan sebagai salah satu wadah untuk lebih 'dekat' dengan Jepang.
"Kalian 'kan sudah kelas dua. Sudah pandai membaca, kan?" Aoki sensei melanjutkan pemberitahuannya. "Apakah kalian melihat sebuah rak buku kosong dan sedikit berdebu di pojok belakang ruangan kelas ini?"
Seluruh anggota kelas berkompakan membalikkan kepalanya menengok benda yang dimaksud.
"Rak-rak itu sebenarnya menanti kehadiran buku-buku menyenangkan yang kalian sukai. Selama ini ia kesepian karena tidak ada satupun diantara kalian yang mau meletakkan buku-buku disana...," lanjut Aoki sensei.
Tomoki-kun mengangkat tangannya lagi dengan semangat dan tanpa dipersilakan , ia bertanya, "Buku apa saja boleh, sensei? Aku punya banyak komik Naruto dan Doraemon di rumahku!"
Aoki sensei tersenyum. "Ada ketentuan untuk buku yang bisa dibawa. Pertama, buku yang mudah untuk kalian baca, seperti buku-buku yang tidak menggunakan banyak kanji, dan buku yang tidak terlalu tebal. Kedua, boleh bawa komik, asalkan komik yang berisi hal-hal yang bisa kalian pelajari, seperti komik tentang sejarah para ilmuwan dan tokoh dunia, dan komik tentang fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitar kita.
Buku cerita boleh, buku yang banyak gambarnya juga boleh. Hal yang paling penting adalah buku yang kalian suka dan kalian ingin membagikan manfaat buku itu ke teman kalian."
Kami hampir serempak mengangguk paham. Terseyum. Tak sabar menunggu hari esok.
"Jadi, jangan lupa dibawa besok ya!"
Lalu Aoki sensei berbalik membelakangi kami dan menulis judul pelajaran hari ini, sempat kulihat ada seulas senyum gembira di wajahnya. Sementara itu kami masih ribut saling bertanya buku apa yang akan kami pilih untuk esok.
*
Kesuksesan Jepang menag tak di ragukan lagi. Negara itu terkenal sebagai negara yang sukses dan maju. Mereka memiliki segudang prestasi. Bisa dikatakan, semua kejayaannya itu merupakan hasil dari apa yang mereka lakukan setiap hari. Bahkan, terkadang ada yang menyebut Jepang sebagai "negara para pekerja".
Hidup di Jepang, membuatku sedikit demi sedikit mengenal sifat dan kebiasaan mereka. Tak jarang, aku dibuat kagum dan sekaligus mendorongku untuk mencontohi kebaikan mereka. Tak dipungkiri, lama-kelamaan kebiasaan mereka ikut tertular kepadaku. Aku yakin, setiap orang asing yang menetap di Jepang juga mengalami hal yang sama, terkecuali jika mereka hanya mengurung diri di dalam rumah tanpa bersosialisasi dengan lingkungannya.
Di antara itu semua, salah satu yang sangat sederhana namun besar faedahnya adalah budaya membaca buku. Kemajuan yang dicapai Jepang pada saat ini merupakan buah dari kerja keras pemerintah dan penduduk Jepang, salah satunya dalam upaya untuk membangun budaya literasi yang dimulai sejak dari bangku sekolah dasar. Ada sebagian, atau bahkan hampir semua sekolah dasar mewajibkan siswa-siswanya untuk membaca buku selama 10-15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Pembiasaan membaca buku di pagi hari ini mampu memicu dan mendorong siswa agar aktif membaca. Tak jarang, para guru menyuruh siswa-siswanya untuk mebuat review dari buku-buku yang mereka baca di pagi hari, lalu dipresentasikan pada suatu kesempatan. Di samping itu, terkadang siswa-siswa diminta untuk membuat kelompok story telling berdasarkan buku yang telah mereka baca.
Memang banyak sekolah yang tidak menyebutkan peraturan tersebut secara tertulis, seperti juga di SD tempat aku menimba ilmu. Namun, kegiatan membaca buku di pagi hari, atau dalam bahasa Jepang disebut asa no dokusyo, telah menjadi wadah untuk menerapkan budaya membaca yang membuat siswa-siswa sekolah dasar sekalipun, secara mandiri membuka ruang-ruang diskusi ilmiah informal di luar jam pelajaran mereka dengan membahas mengenai buku-buku yang pernah mereka baca.
Membaca. Sangat sederhana memang, tapi banyak 'pintu' yang akan terbuka dengan 'kunci' membaca.
Sebagai pembiasaan awal di usia dini, dalam praktek budaya membaca juga diselipkan hal-hal menyenangkan yang mampu memicu semangat anak-anak sekolah dasar untuk membaca. Dalam hal ini perpustakaan memegang peranan besar. Selain sebagai 'gudang' sejuta buku, juga sebagai 'penyelenggara' berbagai kegiatan.
Berkat kegiatan membaca di pagi hari yang mulai dirutinkan, aku dan teman-temanku semakin akrab dengan buku-buku selain buku cetak matapelajaran. Dan perpustakaan turut masuk dalam daftar tempat yang sering kami kunjungi.
Perpustakaan SD di sini seolah tidak pernah kehabisan akal untuk menarik siswa-siswi untuk mengunjunginya. Di antara hal-hal yang paling kami senangi adalah corner majalah ilmiah untuk anak-anak. Majalah bulanan tersebut berisi penjelasan tentang suatu fenomena alam atau praktikum-praktikum sains yang mudah yang dijelaskan dalam model komik. Pihak perpustakaan akan memperbaharui majalah tersebut setiap sebulan sekali, sehingga informasi yang didapatkan juga up to date.
Perlombaan yang diadakan juga tidak kalah menarik. Sebut saja lomba menggambar visual tokoh dari suatu buku, komik ataupun novel. Lomba review buku dan story telling, lomba mengarang cerita, lomba mewarnai, dan sebagainya.
Setiap pemenang akan diberikan hadiah, tentunya. Namun memikirkan bagaimana cara agar tidak mematahkan semangat para murid yang tidak menang serta tidak membuat murid-murid tersebut menganggap dirinya tidak mampu dalam bidang lomba yang mereka ikuti, menjadi tugas khusus bagi para petugas perpustakaan sebagai penyelenggara lomba. Maka semua murid yang mengikuti lomba, meskipun tidak menjadi pemenang, diberikan hadiah kecil.
Pernah suatu waktu aku kalah, dan aku diberikan sebuah pembatas buku handmade yang kira-kira berukuran 10x3 cm. Jika orang yang tidak mengikuti lomba tersebut melihatnya, bisa saja berpikiran pembatas buku itu tidak lebih dari sekedar 'kertas kecil berisi coretan yang tak berarti'.
Namun bagi kami yang menerimanya, mempunyai arti tersendiri. Di saat kami sudah berusaha dalam membuat karya untuk lomba namun tidak menang, petugas perpustakaan memberikan pembatas buku tersebut. Melalui pembatas buku, mereka memberikan support dan menyalurkan rasa sayangnya kepada kami melalui untaian kalimat-
"Jika seseorang kalah, bukan berarti perjuangannya telah berakhir. Namun perjuangannya berakhir hanya jika ia menyerah. Dalam mengejar mimpimu, tidak mengapa kau gagal. Karena kegagalan itu akan membawamu menuju jalan kesuksesan yang lain. Tetaplah menjadi pribadi yang kaya ilmu dengan membaca!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakura Empat Musim
Non-FictionSatu di antara sekian untaian kalimat dari beragam kenalan yang kuterima saat usiaku genap dua puluh tahun. Ucapan selamat beserta doa tulus dari seseorang yang telah banyak membagikan ilmunya kepadaku. Skenario hidup manusia memang tidak bisa diteb...