Selasa, 5 Juni 2007
Hening dan sepi. Bau obat di pagi musim semi, dimana warna merah muda bunga sakura menutupi negeri ini. Aku, Ibu, dan dua orang adikku: Fakhri dan Faqih-si kecil yang baru lahir-memasuki sebuah rumah sakit besar di daerahku.
Hari ini hari yang menyedihkan dan menegangkan bagi keluarga kami. Hal itu dikarenakan Fadlan, adikku yang kedua, akan dioperasi. Padahal bulan lalu, ia baru saja menyambut ulang tahunnya yang kelima. Kata dokter, jantungnya bocor. Jadi harus segera dioperasi untuk menutupi lubang di jantungnya.
Sejak lahir, adikku itu memang lebih mudah merasa lelah daripada teman seusianya karena jantungnya tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Saat ia masih berumur empat tahun, ia sudah pernah diberi obat agar lubangnya menutup. Alhasil lubang tersebut memang menutup. Namun kira-kira setahun berikutnya terbuka lagi. Tak ada cara lain, akhirnya ia harus menjalani operasi bedah untuk menutupi lubangnya. Kasihan sekali, padahal umurnya baru lima tahun.
Tibalah hari ini, hari yang pasti sangat berat untuk dijalani oleh Fadlan sendiri, juga bagi kami. Akhirnya aku, Ibu, Fakhri dan Faqih tiba di ruang tunggu yang terletak di dekat ruangan yang bertuliskan 'Pusat Ruangan Pasien' dalam bahasa Jepang. Sedangkan Ayahku dan Fadlan sudah berada di rumah sakit sejak hari sebelumnya, agar Fadlan dapat diberi beberapa perawatan sebelum dioperasi. Ternyata, selain Fadlan, ada beberapa anak seusianya juga yang harus menjalani operasi seperti Fadlan. Alhamdulillah, Fadlan tak akan merasa sendirian.
Saat kami sedang menunggu, seorang dokter laki-laki bersama Ayahku keluar dari pintu masuk Pusat Ruangan Pasien.
Dokter berkata kepada kami dengan ramah, "Tiga puluh menit lagi operasi akan segera dimulai. Operasi akan berlangsung selama tiga jam, tepatnya mulai jam sembilan pagi dan berakhir jam dua belas siang. Jika ingin bertemu dengan Fadlan-kun, silakan. Kalau bisa, hiburlah dia."
Setelah dokter pergi, aku dan Fakhri terdiam. Sedih melihat beratnya cobaan adik kami. Ditambah lagi, dokter sempat berkata, "Berdoalah banyak-banyak. Karena hanya sedikit orang yang bisa sehat dan tanpa mengalami cacat apapun setelah menjalani operasi jantung seperti ini. Banyak juga yang kehilangan nyawanya. Kemungkinan terbaik mungkin hanya ada perubahan pada suara Fadlan-kun nanti."
Namun Ibu dan Ayah tetap sabar dan tegar. Malah mereka yang selalu membuat kami tenang dan mengajak kami untuk sabar serta mengambil hikmah dari semua kejadian ini.
Setelah itu, Ibuku masuk ke ruang pasien dan Ayah yang ganti menemani kami di ruang tunggu.
Jam sembilan pagi, Ibu diminta untuk kembali ke ruang tunggu karena operasi akan dimulai. Selama di ruang tunggu, Ibuku bercerita tentang kejadian yang baru saja dialaminya.
*
Saat Ibu masuk ke Pusat Ruangan Pasien, ternyata Fadlan sudah berbaring diatas ranjang beroda, sedang bercerita bersama dokter.
Fadlan langsung bangun dan duduk di atas ranjang saat melihat Ibu menuju ke arahnya. Fadlan lantas memanggil-manggil.
"Ibu! Ibu! Ibu ke sini! Fadlan mau dioperasi!"
Hal ini menyentuh hati Ibuku. Bagaimana tidak, Fadlan memanggil-manggil Ibu dengan senyuman lebar. Seperti tak aka nada kekhawatiran, seakan tak akan ada sesuatupun yang akan terjadi pada dirinya. Fadlan seolah tak takut menghadapi apapun.
Setelah Ibuku tiba di sampingnya, Fadlan berbicara kepadanya dengan manja, "Ibu, peluk Fadlan dong, Fadlan dingin."
Tess... Tess... Ternyata butiran air mata Ibuku tak dapat dicegah lagi. Akhirnya Ibu memeluk Fadlan dan juga Fadlan balas memeluknya. Memikirkan hal yang bukan-bukan selalu dihindari oleh Ibuku. Namun kali ini tak berhasil dilakukannya. Bisa jadi ini adalah pelukan terakhir dariku untuk Fadlan dan darinya untukku.
Saat sudah mendekati jam sembilan, Ibu diminta untuk kembali ke ruang tunggu. Beberapa orang suster datang dan segera memakaikan baju operasi pada Fadlan. Saat ranjang roda Fadlan didorong oleh suster menjauh dari Ibuku dan menuju ruang operasi, air mata Ibuku semakin tak bisa dihentikan.
Saat Fadlan semakin menjauh, tiba-tiba ia berteriak kearah Ibu, "Ibu! Fadlan mau pergi dulu ya! Ibu jangan rindu sama Fadlan ya!"
Inilah kata-kata yang terucap dari mulut seorang anak laki-laki yang berusia lima tahun kepada Ibunya yang tersayang. Senyuman tak pernah hilang dari bibirnya, meski ia sendiri tak tahu kapan pada skenario kehidupannya akan ditulis 'The End' oleh-Nya.
*
Tepat jam dua belas siang, datang seorang suster menemui kami di ruang tunggu.
"Operasi baru saja selesai. Fadlan-kun selamat, namun sekarang masih tertidur setelah disuntik obat bius. Sekali lagi, selamat, dan kami turut berbahagia atas kesuksesan operasi ini."
Ada kelegaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Sangat lega. Sangat lega dan sangat senang atas operasi yang berjalan dengan lancar. Disamping itu, operasi tersebut dimulai jam sembilan tepat, dan selesai jam dua belas tepat pula. Sungguh, ketepatan waktu mereka membuat kami sekeluarga kagum.
Lalu kami diperbolehkan untuk menengok keadaan Fadlan sekarang. Namun yang diperkenankan untuk masuk hanya Ibu dan Ayah, karena ada larangan bahwa anak di bawah umur lima belas tahun dilarang memasuki area itu.
Setelah kedua orang tuaku melihat keadaan Fadlan, kami pulang ke rumah. Sementara Ayah tetap menemani Fadlan yang belum sadarkan diri di rumah sakit.
Sore harinya, ada telepon dari Ayahku. Namun ternyata yang berbicara di seberang sana adalah Fadlan. Kami di rumah kaget, namun sekaligus senang karena Fadlan sudah kembali ceria seperti dulu. Tapi kami merasakan perubahan pada suara Fadlan, semakin tinggi.
"Ayah, suara Fadlan berubah, ya?" tanya Ibuku.
"Iya, suaranya memang semakin tinggi gara-gara operasi. Tapi Alhamdulillah tidak ada cacat yang lain. Fadlan juga sudah sehat. Tadi malah sudah berlarian di rumah sakit. Fadlan juga sudah bias bermain di taman indoor. Kata dokter, ini benar-benar sebuah keberuntungan. Operasinya berjalan dengan mulus, dan Fadlan bisa selamat, bahkan sudah bisa dikatakan normal sebagaimana anak-anak lain seusianya. Alhamdulillah," jelas Ayahku panjang lebar.
*
Pemerintah Jepang memang sangat menjaga kesehatan penduduknya, baik penduduk asli Jepang maupun orang asing. Kecanggihan teknologi dan kemahiran para dokter untuk pengobatan, serta tak jarang pemberian bantuan dana pengobatan sanggup menumbuhkan semangat pasien untuk sembuh.
Dokter dan perawatnya sangat ramah dan murah senyum, sehingga orang-orang yang sakit termotivasi dan tetap semangat berjuang agar bisa kembali sehat. Lebih dari itu, keinginan kuat, ketulusan, dan kesungguhan seorang dokter untuk menyembuhkan pasiennya adalah hal yang paling membuat hatiku tersentuh saat itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakura Empat Musim
Non-FictionSatu di antara sekian untaian kalimat dari beragam kenalan yang kuterima saat usiaku genap dua puluh tahun. Ucapan selamat beserta doa tulus dari seseorang yang telah banyak membagikan ilmunya kepadaku. Skenario hidup manusia memang tidak bisa diteb...