Kamis, 14 Oktober 2004
Angin berhawa sejuk semakin terbiasa menyapa tubuhku setiap hari. Dedaunan momiji atau maple juga laksana hujan gerimis yang sedikit demi sedikit jatuh berjumpa tanah, bukan lagi pemandangan baru. Jepang sudah memasuki musim gugur atau aki.
Sudah setahun lebih sejak kepindahanku, dan selama itu pula negara ini menyuguhkan pemandangan alam dengan warna yang berbeda-beda untuk setiap musim yang kunikmati. Sambutan dari si putih salju di musim dingin, dilanjutkan oleh si merah muda sakura di musim semi, kemudian berpindah tangan ke langit musim panas si warna biru menyegarkan. Dan kini, hamparan dedaunan momiji laksana permadani berwarna jingga.
Kini aku sudah kelas satu SD, saat-saat dimana aku sudah begitu menyukai warna-warna kehidupan di Negeri Sakura. Hari ini ada pelajaran seni di sekolah. Seperti biasa, aku mengikuti mata pelajaran kesukaanku itu dengan excited. Ibu guru yang kupanggil dengan sebutan 'sensei' meminta kami untuk menggambar di sebuah kertas karton. Kami diminta untuk menggambar salah satu scene dalam sebuah cerita rakyat Jepang, mau pilih cerita apa saja terserah kita.
Lalu aku pun memilih untuk menggambar scene dalam cerita Kabutori Jiisan, dimana seorang kakek yang memiliki benjolan besar di pipinya sedang menari ditengah beberapa "oni", yaitu semacam manusia setengah hantu yang mempunyai tanduk dan warna badan yang beragam, merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan lainnya.
Bermulalah petualanganku di dalam dunia imajinasi yang hanya terlihat olehku. Otakku dengan lincah memberi komando kepada tangan untuk menggoreskan pensil, spidol, krayon, dan cat air di atas kertas karton, sambil mengingat-ingat kembali suasana cerita tersebut yang ingin kugambar. Ini salah satu alasan aku menyukai pelajaran seni saat aku SD, kami hanya ditentukan tema dari karya yang harus dibuat, lalu kami dibebaskan untuk mengembangkannya sesuai kreativitas masing-masing.
Sekitar dua jam berikutnya, akupun selesai menggambar. Isi gambarku hanya seorang kakek, dua orang oni, dan dua buah api unggun besar. Aku cukup bangga dengan gambarku yang -menurutku- bagus itu. Namun saat aku ingin menunjukkan gambarku kepada ibu guru, ternyata beliau sedang memuji gambar seorang temanku yang bernama Arisa-chan.
Aku pun terbakar oleh api kecemburuan. Ya,konyol memang, tapi itu fakta. Aku juga ingin dipuji. Maklum, waktu itu masihkelas satu SD, jadi rasa egoisnya masih tinggi. Lalu aku pun memperbaikigambarku. Aku menambahkan dua orang oni dan beberapa api unggun kecil, sehinggakertas gambarku dipenuhi oleh oni berwarna-warni dan seorang kakek di tengahmereka yang terlihat senang bercampur ketakutan.
Alhasil, akhirnya sensei memujiku juga, dan mengatakan bahwa aku menggambar sesuatu yang unik dan hebat. Entah kalimat tersebut berlebihan ataupun memang benar adanya, namun aku begitu senang.
Singkat cerita, ternyata gambra-gambar kami itu dikirim ke sebuah lomba menggambar tahunan yang cukup terkenal se-prefektur Gifu. Namun waktu itu aku tak peduli terhadap hal itu. Bayangkan, skala lombanya se-prefektur, dan di Prefektur Gifu terdapat banyak sekolah dan tentunya ribuan murid. Yah, bisa dibilang aku tidak peduli karena tidak yakin akan menang dalam lomba tersebut.
Karena ketidakpedulianku, aku sampai lupa akan lomba itu. Hingga pada suatu hari pada bulan Januari, guruku membawa sebuah kabar yang mengagetkan. Ternyata gambarku dan gambar Arisa-chan termasuk dalam sepuluh besar pemenangnya, dan dari sekolahku, untuk kategori kelas I, II, dan III SD hanya aku dan Arisa-chan yang lolos.
Walau awalnya tidak peduli, ternyata setelah mendapatkan berita itu aku senangnya bukan main. Kedua orang tuaku juga turut bergembira.
Tak kusangka, ternyata gambar-gambar para pemenang lomba itu dipamerkan dalam sebuah museum seni yang paling terkenal di Gifu selama setahun hingga ada pemenang baru di lomba pada tahun depan.
Rasanya aku ingin berterima kasih kepada si kakek Kabutori Jiisan dan para oni yang kupaksakan berdesak-desakan berada dalam satu frame di kertas gambarku yang tak seberapa besar, karena dengan gambar mereka, aku bisa memenangi lomba tersebut, hahaha.
Sesuatu yang kita sukai, jika kita kerjakan dengan senang hati dan pantang menyerah, walau kita tidak mengharapkan dan merencanakan apapun, ternyata Allah menyiapkan kejutan yang indah untuk kita. Bagiku, ini contoh kecil dari kalimat yang sering kudengar, "Hasil tak pernah mengkhianati usaha".
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakura Empat Musim
Non-FictionSatu di antara sekian untaian kalimat dari beragam kenalan yang kuterima saat usiaku genap dua puluh tahun. Ucapan selamat beserta doa tulus dari seseorang yang telah banyak membagikan ilmunya kepadaku. Skenario hidup manusia memang tidak bisa diteb...