PART 5

3K 46 0
                                    

"Ibu? Ibu Litha? Ibu sudah sadar? Ibu bisa lihat dan dengar saya?" Aku masih mencoba mengerjapkan mataku yang masih sangat berat untuk dibuka ini dan memfokuskan pandanganku pada perempuan dengan seragam putihnya di depanku ini.

"Engghh.. ini rumah sakit? Bau obat soalnya." Kataku serak-entah pada berkumpul dimana suaraku ini, hingga untuk berbicara saja aku perlu kerja keras.

"Iya bu, ini di rumah sakit. Apa yang ibu rasakan? Atau ada bagian tubuh yang sakit atau sulit digerakkan-eh ibu mau minum?" Tanya wanita yang kuketahui bernama Ratna dari nametag di seragam putihnya.

"Iya, minum."

Kemudian Ratna menyodorkan segelas air dengan sedotan di dalamnya. Aku minum dengan susah payah, rasanya tenggorokanku sangat lengket hingga air pun susah untuk melewatinya.

"Tadi pagi dokter sudah visit Bu, tapi ibu masih istirahat. Dokternya sekarang lagi gak ada, nanti sore baru visit lagi. Kalo ada yang sakit atau ibu butuh apa-apa, bilang sama saya aja ya Bu." Aku mengangguk.

"Tenggorokan saya sakit Sus-seret gitu, ngomong aja sakit." Keluhku sambil meraba tenggorokanku.

"Pelan-pelan ya, Bu. Soalnya kan ibu sudah dua hari gak minum dan gak makan apapun, makanya tenggorokannya jadi sakit. Tapi nanti makan dan minum pelan-pelan ya Bu-dilatih, biar gak sakit lagi."

Aku mengerutkan keningku, tandaku tak mengerti apa maksud perkataannya. Namun Ratna berkata lagi.

"Ibu bingung yah? Iya, ibu sudah dua hari pingsan, Bu." Terangnya atas kebingunganku.

Ah ya, kecelakaan-berarti kegelapan itu menandakan kecelakaan yang kualami. Malam dimana aku dan Yudha bertengkar, dalam perjalanan ke rumah sakit juga untuk menemani ibu mertuaku. Terus bagaimana kondisi mertuaku? Nantilah, kalo aku sudah keluar dari sini akan kucari tahu sendiri.

"Jadi saya beneran kecelakaan?" Tanyaku memastikan, dan Ratna mengangguk pelan.

Tanpa kumau, pikiranku langsung melayang ke Yudha. Bagaimana keadaannya, bila aku saja terbaring lemah begini, bagaimana kondisinya? Banyak sekali pertanyaan yang muncul untuk Yudha. Ah tapi biarlah, dia mati pun malah aku jadi bebas kan? Tenangku dalam hati.

"Ibu Litha nyari suaminya ya? Mau saya panggilin pak Yudha nya, Bu?"

"Ehm gak usah, Sus. Biarin aja."

"Saya jadi iri deh sama ibu."

"Lho kok iri, Sus? Saya aja kecelakaan begini."

"Iya iri Bu, soalnya suami saya gak seperhatian pak Yudha Bu." Kekehnya kemudian.

"Oh ya?" Tanyaku menanggapi obrolannya dan Ratna mengangguk lagi sambil tersenyum.

"Tau gak Bu? Dari awal masuk RS, pak Yudha gak mau dirawat juga di ruangan, dia selalu mau disamping ibu. Bahkan pak Yudha aja diobatinnya di ruangan ini juga. Padahal lukanya juga lumayan lho Bu, perlu untuk di rawat sehari-dua hari mungkin, bedanya cuma gak sampai pingsan aja kayak ibu. Dia kayak merasa bersalah gitu, mukanya pucat-frustasi juga. Dia bilang sama saya kalo kondisi ibu begini karena salahnya. Pas dokter periksa ibu-bilang kalo ibu kecapekan, gak fit dan kandungan ibu lemah, pak Yudha langsung minta dokter untuk lakukan apapun biar ibu sama si bayinya selamat. Bahkan pak Yudha mengizinkan ibu di suntik vitamin sehari sekali sama dikasih obat tidur biar ibu bisa istirahat total dan recovery lebih cepat. Semua yang terbaik, diminta pak Yudha buat ibu."

Saat Ratna bilang kandungan dan bayi, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata ini. Entah kenapa saat Ratna bercerita, airmataku menetes perlahan. Aku juga tidak tahu penyebabnya-karena bayi ini atau karena Yudha.

I'M SORRY, DARLING!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang