PART 7

2.4K 39 1
                                    

Huekk.. huekk..

Aku kembali memuntahkan isi perutku yang sudah kosong sejak semalam. Bahkan hanya air liur ku dan cairan pahit yang keluar sejak tadi.

"Yang.. Yang, kamu muntah lagi?" Yudha masuk ke toilet dan memijat tengkukku lembut.

Ini baru pukul 3 dini hari dan aku sudah menganggu waktu tidur Yudha yang baru 2 jam lalu dinikmatinya. Ia sehabis lembur lagi malam ini, ia baru memenangkan proyek besar yang menuntutnya untuk sempurna juga dalam menanganinya. Akhirnya, malam-malam terakhir ini ia selalu pulang ke rumah di atas jam 12 malam. Oleh karena itu juga, ia mempekerjakan pembantu dan asisten untuk memenuhi kebutuhanku yang tak bisa semuanya dipenuhi Yudha.

"Hiks.. hiks.. maaf, sudah ganggu istirahat kamu." Aku terduduk di depan closet duduk dan meringkuk sambil menangis disana.

Yudha yang melihatku menangis pun langsung memeluk tubuhku erat. Mengusap lembut punggungku dan menenangkanku.

"Hey.. Yang, kamu ngomong apa sih? Aku yang harusnya minta maaf, belum bisa selalu ada disamping kamu, nemenin kamu, penuhin semua kemauan kamu. Maaf ya kalo aku tambah sibuk akhir-akhir ini. Tapi ini buat masa depan kita sama Kiddo–aku lagi usahin semuanya."

Aku mendongak untuk melihat wajah Yudha yang ia letakkan diatas kepalaku. Aku mengusap rahang tegasnya yang mulai ditumbuhi rambut halusnya. Bahkan hanya untuk bercukur pun ia tak punya waktu, tapi entah kenapa aku suka dengan brewok tipis yang menghiasi wajahnya–menambah kadar ketampanannya.

Yudha membalas dengan menghapus airmataku dengan ibu jarinya dan mengecup keningku lembut.

Ia menggendongku dan membawaku keluar kamar. Seakan menyadari tatapan bingung dariku, ia pun berucap lagi. "Kamu makan dulu ya? Aku suapin. Bubur yang tadi malam aku beli masih mau gak? Aku panasin dulu kalo mau." Aku hanya menangguk lemah dalam dekapannya.

Yudha meletakkanku di sofa ruang keluarga kami, ia juga menyalakan TV sebagai temanku selagi ia di dapur untuk memanasi bubur yang ia beli semalam.

Saat Yudha datang, aku sedang meringkuk di sofa sambil memeluk bantalan sofa, sebelah tanganku juga mengelus perutku dengan lembut. Yudha mengelus lenganku yang sedikit terbuka karena aku mengenakan kaos dengan lengan sangat pendek. Ia membantuku untuk duduk disebelahnya yang sudah memegang semangkuk bubur.

"Bentar ya, buburnya masih panas banget–oh iya kamu mau teh hangat apa air putih aja. Aku bawa air putih doang, nanti kalo kamu mau teh hangat, aku bikinin kalo kamu sudah selesai makannya ya."

"Air putih aja." Aku sudah akan meraih gelas di depanku sampai Yudha kembali mengingatkanku. Ia juga dengan sigapnya meraih gelas itu untukku.

"Minum air putihnya dikit aja ya, nanti kalo kebanyakan, kamu muntah lagi, kan makan aja belum." Katanya lembut dan aku menyesapnya sedikit–sesuai perintahnya.

Ya, Yudha sedikit banyak sudah memahami kebiasaan-kebiasaan baruku semenjak hamil. Dan dia juga selalu mengingatkanku agar melakukan anjuran-anjuran dari dokter.

"Yud, udah." Aku menolak suapan keduanya setelah aku berhasil menelan bubur di suapan pertamanya.

Yudha kembali menghela napasnya dan kembali membujukku. "Dua suapan lagi ya? Kan sayang buburnya, katanya kemarin kamu mau makan bubur di tenda biru pinggir jalan itu? Pas aku beliin, kamunya udah tidur. Kiddo-nya yang pengen kan, masa Mami-nya gak mau makan demi dia?"

"Yud, kamu tahu kenyang gak sih?" Seruku kesal, aku juga sudah kembali menangis di depannya. "Badanku ini rasanya gak enak semua. Aku makan sedikit–keluar, aku minum sedikit–keluar, aku capek muntah terus dari kemarin. Mulutku juga gak bisa ngerasain enaknya bubur itu, cuma pahit yang ada. Kamu kan gak ngerasain gimana rasanya jadi aku!"

I'M SORRY, DARLING!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang