WARNING 17++ aja deh !!!
Yudha semakin membatasi ruang gerakku, aku sudah tidak boleh mondar-mandir ke butik, kemana-mana selalu dengannya dan semua yang aku lakukan dipantaunya. Bukan karena tanpa alasan, karena ia khawatir akan kehamilanku yang sudah memasuki bulannya. Perkiraan dokter pun dua minggu lagi aku akan melahirkan. Sehingga semua persiapan sudah aku dan Yudha pikirkan matang sebelumnya, dari rumah sakit hingga perlengkapan bayi yang akan digunakan anak pertama kami ini.
Tak jarang beberapa kali aku mengalami kontraksi palsu hingga membuat Yudha panik setengah mati, karena itu juga aku tak mengatakannya bila perutku sedikit mulai tak enak. Hari ini, aku sebenarnya sudah merasakan perutku yang mulai sakit, tapi aku belum mengatakan apapun pada Yudha. Hingga saat ia tiba di rumah siang hari karena ada dokumennya yang tertinggal, aku memintanya untuk mengatarku ke rumah sakit. Feelingku seperti mengatakan bahwa sekarang adalah saatnya anak ini menghirup udara bebas dan tak terkekang dalam rahimku lagi.
"Kok kamu gak bilang aku kalo udah ngerasa sakit sih, Yang?"
"Aku gak mau kamu panik berlebihan kayak kemarin-kemarin, Yud."
"Ya tapi malah sekarang aku yang makin-makin panik karena kondisi kamu. Sakit banget ya? Sabar ya, bentar lagi sampai kok."
"Aku yang akan melahirkan aja gak sepanik kamu, Yud." Kekehku pelan untuk membuktikan padanya bahwa aku baik-baik saja. "Kamu cuma harus percaya sama aku kalo aku bisa lahirkan anak kita dengan selamat".
Ya, tentu saja aku berbohong, aku sendiri pun tak bisa memungkiri kekhawatiran yang melandaku, apa bisa aku melahirkannya dengan selamat, apa aku cukup kuat untuk itu, apa anak ini akan sehat, apa aku akan baik-baik saja setelahnya dan masih banyak pertanyaan lainnya yang memenuhi pikiranku. Tapi aku hanya terus menanamkan pikiran positif bahwa aku bisa melewatinya. Entah bagaimana akhirnya nanti, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melihatnya, wajah mungil anak pertamaku–kehamilan yang tak terencana dan penuh drama serta peristiwa langka antaraku dan Yudha saat aku mengandungnya.
"Yud, kamu tunggu aku aja di luar, doain aku sama Kiddo yah." Pintaku pelan.
Aku tak sanggup melihat wajah panik, cemas dan khawatirnya berada disampingku dan menemaniku selama prosesi melahirkan ini.
"Aku mau ada di samping kamu, menemani kamu. Aku mau hadir di peristiwa penting di hidup kita berdua."
Entah Yudha menyadarinya atau tidak, namun sekarang airmatanya sudah keluar dari mata sayu-nya. Aku tersenyum kecil dan mengangguk, aku juga menghapus airmatanya dan berpesan.
"Iya, kamu temani aku. Tapi janji sama aku, kuatin aku, aku gak mau dikhawatirin, percaya kalo aku bisa. Tapi satu pesanku–kita gak akan tau gimana nantinya, kalo aku gak sanggup jaga anak kita ya, tolong jaga dia kayak kamu jagain aku selama ini ya, Yud."
"Yang, kamu gak boleh ngomong gitu! Kamu dan bayi kita akan selamat, kita akan hidup jadi keluarga kecil yang bahagia sayang."
"Aku tahu, Yud. Terus berdoa untuk kami ya, Papi." Ucapku sambil tersenyum padanya.
Yudha membuktikan ucapannya, selama aku berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan anak kami dari perutku, Yudha selalu menyemangatiku dan selalu membisikan semangat serta doanya di telingaku. Sebenarnya konsentrasiku agak terpecah karena harus mengikuti instruksi dokter juga, namun aku berusaha menikmati perhatian Yudha ini.
Aku mengucap syukur, perasaan lega dan bahagia langsung menyelimutiku saat aku mendengar suara tangisan anak kami. Ya Allah terima kasih sudah menyempurnakan peranku dari wanita biasa menjadi seorang ibu. Yudha langsung memberikan kecupan di kening dan juga bibirku, ia juga berdoa di puncak kepalaku dan membisikan rasa terima kasihnya padaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/107530535-288-k353945.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M SORRY, DARLING!
RomanceWARNING!!! INI CERITA DEWASA!!! BANYAK ADEGAN 21++!!! Bijaklah dalam membaca! Yang belum cukup umur bisa melewatkan cerita ini. Tapi jika nekat, silahkan tanggung sendiri akibatnya. Lithaya Dameswari sudah resmi menikah dengan Rayudha Riantama, lela...