The Reunion

1.3K 99 3
                                    

Hari sudah sore. Matahari perlahan tenggelam, menyisakan semburat jingga indah yang memenuhi langit.

Ia berjalan dengan langkah ringan menyusuri jalan yang mulai sepi. Kotak violin berada di genggamannya. Sesekali ia menyenandungkan lagu yang baru saja dipelajarinya—tersenyum ketika nada-nada indah itu memenuhi dirinya.

Ia dalam perjalanan pulang dari les violinnya. Sensei tak bisa datang ke rumahnya hari ini karena harus menjaga anaknya yang sakit, sehingga ia berinisiatif untuk mendatangi rumah beliau yang terletak tidak begitu jauh dari kediamannya. Ia sedang bersemangat menggesek violinnya dan ia tidak ingin tertinggal satu latihan pun.

Duk. Duk. Duk.

Eoh?

Bibirnya berhenti bersenandung ketika sebuah suara yang terdengar seperti pantulan bola mengusik pendengarannya. Ia menoleh ke sebuah lapangan basket di taman yang tengah dilewatinya. Untuk sesaat ia terpana melihat surai merah yang tampak berkilauan terkena cahaya senja. Surai milik seorang anak laki-laki yang bergerak lincah dengan bola di tangannya.

Tanpa sadar ia menghentikan langkahnya dan memandang bocah itu tak berkedip. Bocah yang tampak seumuran dengannya itu tengah bermain basket seorang diri, berkali-kali tersenyum puas ketika bola yang dilemparnya berhasil memasuki ring.

Entah berapa menit berlalu, ia tak menghitungnya. Hingga saat kedua iris merah itu bertubrukan dengan iris birunya, ia terperanjat. Sensasi hangat dengan cepat menjalar di wajahnya.

Mengabaikan bocah yang hendak membuka mulutnya, ia berlari kencang.

.

.

Bunyi alarm berdering nyaring memenuhi sebuah kamar sederhana bernuansa soft blue, membangunkan Kuroko yang perlahan membuka kedua kelopak matanya. Ia mengerjap, memandang tanpa ekspresi langit-langit kamar. Sensasi aneh menyelimuti dadanya. Sensasi yang sama ketika sepasang mata crimson milik bocah dengan warna rambut senada menatapnya.

Mata Kuroko meredup, sebelum kemudian ia tersenyum getir. Apa ia terlalu memikirkan Akashi hingga memimpikan pemuda itu?

Ia melirik jam yang menunjukkan pukul 7 pagi sekilas, sebelum kemudian bangkit dan mematikan alarm. Ia terduduk di kasurnya, termenung.

Mau tak mau ingatannya kembali pada pertemuan pertamanya dengan Akashi. Ia yang saat itu terlalu malu langsung kabur begitu Akashi kecil mermegokinya tengah memperhatikannya. Namun keesokan harinya—entah setan apa yang merasukinya, ia mendapati dirinya kembali berdiri di pinggir lapangan dan menonton anak laki-laki itu.

Bedanya kali ini adalah ia terpaku saat sepasang mata berwarna merah itu berhasil memerangkapnya. Ia tidak bisa bergerak, bahkan saat anak itu mendekat dan mengulurkan tangannya, tersenyum manis.

"Mau bermain bersama?"

Singkat kata mereka berkenalan dan berteman. Sensei tidak pernah lagi datang ke rumahnya untuk mengajar violin, karena sekarang ia yang akan mendatangi beliau. Setiap pulang les ia selalu mampir ke lapangan basket untuk bermain bersama Akashi. Permainannya buruk namun Akashi dengan sabar mengajarinya.

Basket pun menjadi kesukaannya selain musik.

Namun hari-hari menyenangkan itu berakhir ketika suatu hari ia tak menemukan Akashi di lapangan basket seperti biasanya. Ia berpikir Akashi sedang sibuk atau sakit. Tapi hal itu terus berlanjut pada hari-hari berikutnya. Akashi tidak pernah terlihat lagi.

Pertemuan mereka selanjutnya adalah di SMP Teiko, di mana ia harus menelan kenyataan pahit karena Akashi sama sekali tidak mengingatnya. Meski begitu ia tetap mencoba mendekati pemuda itu dan berteman dengannya.

Fated to You {AkaKuro}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang