Derit pintu yang terbuka dan wangi bunga yang semerbak mengusik perhatian Kuroko dari buku di tangannya. Tanpa mengalihkan pandangan pun ia tahu siapa yang mengunjunginya. Namun, demi kesopanan, ia tetap menutup bukunya dan menoleh—yang langsung disambut dengan sebuah telapak tangan besar yang bergerak menangkup pipinya.
Terkejut, ia memejamkan mata sesaat sebelum membukanya lagi dan bertemu dengan sepasang iris menawan berbeda warna yang menyipit.
"Kau menyisakan makananmu lagi?"
Ia menggigit bibir sebelum memalingkan wajah. "Aku tidak lapar."
"Jangan melawak, Tetsuna," suara itu terdengar mengeras. "Lihat tubuh kurusmu itu. Haruskah aku meminta perawat untuk mengganti menu makanannya lagi?"
"Tidak perlu, Akashi-kun."
"Kau tidak suka masakan rumah sakit? Aku akan menyuruh koki keluargaku menyiapkan makanan khusus untukmu."
"Tidak, Akashi-kun. Aku baik-baik saja."
"Kau yakin?"
Ia mengangguk, kali ini menatap mata dwiwarna itu.
Akashi mendesah. "Baiklah, kalau begitu biar kukupaskan buah untukmu."
Dan Kuroko hanya memperhatikan dalam diam ketika pemuda berambut merah itu menjauh dan mulai mengupasi buah apel yang dibawanya.
Tepatnya sudah tiga hari sejak ia terbangun di kamar rumah sakit ini. Ia masih ingat warna merah yang langsung menyapanya begitu ia membuka mata. Kilat cemas serta lega yang terpancar dari sepasang iris merah dan emas itu, lengan kokoh yang memeluknya erat seolah tak ada hari esok, dan bagaimana rentetan ucapan syukur terus mengalir dari bibir yang tak henti menciumi kepalanya.
Kuroko kira ia akan meleleh saat itu juga, sebelum Ishida senpai masuk dan berseru histeris begitu melihatnya tersadar. Sambil berlinang air mata, wanita itu berulang kali mengucapkan kata maaf dan terima kasih, membuatnya mau tak mau teringat kilasan kejadian terakhir saat ia mencoba melindungi wanita itu dan tertimpa lampu yang terjatuh sebagai gantinya.
Kuroko hanya bisa bersyukur saat dokter mengatakan bahwa cedera di kepalanya tidaklah serius. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika hal itu mempengaruhi kemampuannya bermain violin. Dan yang terpenting ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Hanako jika sampai skenario terburuk menimpa dirinya.
Mendengar kabar bahwa Kuroko telah sadar, teman-temannya segera berbondong-bondong menjenguknya. Kise dan Momoi langsung menubruknya dengan wajah dibanjiri air mata dan untuk beberapa saat kamar diwarnai oleh celotehan khas para rambut pelangi—yang cukup menghiburnya, sebelum mereka berpamitan dan digantikan dengan teman-temannya yang tergabung dalam panitia charity concert.
Kuroko menyampaikan penyesalan terdalamnya karena harus melewatkan konser, namun mereka hanya menjitaknya dan berkata, "Bicara apa kau ini? Kau membuat kami ketakutan setengah mati, tahu!"
Kemudian saat mereka semua memandangnya dengan mata berkaca-kaca, ia tahu dirinya telah mendapatkan tempat di sana, membuat hatinya seketika menghangat. Dan ia bersyukur telah memaksa Akashi pulang begitu dirinya melihat Hajime masih setia berdiri di tempat sepeninggal yang lain.
Karena yang selanjutnya keluar dari bibir pria itu membuatnya shock.
"Aku menyukaimu, Kuroko."
Tidak pernah Kuroko melihat wajah Hajime yang begitu serius. Pria itu bahkan tak memanggilnya dengan embel-embel 'chan'.
"Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengatakannya, tapi melihatmu hampir sekarat di depanku membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Aku tahu aku tidak bisa menahannya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to You {AkaKuro}
ФанфикTakdir seolah mempermainkan Kuroko Tetsuna saat ia kembali dihadapkan dengan masa lalu yang berusaha dihindarinya selama tiga tahun ini, Akashi Seijuro. Akankah pertahanannya runtuh dan ia kembali jatuh pada pemuda itu? Akaxfem!Kuro, College!AU