The Lost

984 73 35
                                    

Mencekam.

Satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana di ruangan luas berdekorasi elegan itu. Duduk di sofa hitam panjang yang terpisahkan oleh meja kaca dengan dua cangkir teh dan sepiring macaron warna-warni di atasnya adalah dua pria berpenampilan fisik hampir serupa—surai merah menyala dan tatapan mata yang penuh keabsolutan. Namun, jika yang satu memiliki proporsi tubuh besar dengan garis-garis usia menghias samar wajahnya, maka yang satunya lagi mempunyai tubuh lebih ramping dengan otot yang tak kalah padat dan wajah yang jauh lebih muda.

Dan jika yang satu memancarkan aura kewibawaan, yang lain tampak tak segan mengeluarkan aura intimidasi yang sempat membuat sekretaris yang mengantarkan teh serta snack gemetar dan hampir menumpahkan isi cangkir—yang tentu saja tidak terjadi atau dia harus mengepaki barang-barangnya saat itu juga.

Sepuluh menit berlalu, namun dua pria berwajah rupawan itu masih saling menatap dan mengamati satu sama lain tanpa bertukar sepatah kata pun. Hingga akhirnya yang tertua di antara mereka mendesah. Dia meraih satu macaron dari atas piring lalu memakannya.

"Cobalah. Salah satu klienku merekomendasikannya dan ternyata cukup enak."

Sorot tajam penuh perhitungan Akashi memudar. Ia mengerjap, menatap tak mengerti sosok di depannya. Apa yang pria tua itu katakan?

"Rasa manis bisa mengurangi sedikit stress, kau tahu."

Dan Akashi tak bisa menahan diri untuk tidak mendengus.

"Aku akan kembali jika kau memang tidak memerlukanku," ucapnya seraya bersiap pergi, namun urung saat pria itu menghentikannya.

"Hei, hei, apa aku salah jika ingin mengobrol santai dengan putraku?"

Dengan enggan, Akashi kembali menghempaskan diri ke atas sofa sambil memasang wajah tak tertarik.

Sekali lagi, Akashi Masaomi mendesah.

"Kudengar ada sedikit ketegangan di Divisi IT yang kau pimpin."

"Mereka hanya melebih-lebihkan."

"Kau sudah memecat lima pegawai bulan ini."

"Manajer yang memecat mereka."

"Dan kau yang mengancamnya."

"Aku hanya membersihkan perusahaan dari bibit tak berkualitas. Kita tak membutuhkan mereka."

"Seijuurou..."

"Aku selalu menang dan selalu benar, ayah. Tidak akan ada yang berani menentangku. Bukankah itu yang kau ajarkan selama ini?"

Skakmat.

Akashi menarik satu sudut bibirnya ketika ayahnya terpaku. Masaomi hanya terdiam sebelum kemudian terkekeh dan mulai tertawa.

"Hahahaha, kau benar-benar putraku! Meski sekarang aku mulai menyesal telah mengajarimu hal semacam itu."

Akashi menyandarkan punggungnya dan mengangkat bahu, seolah mengatakan 'terlambat, pak tua.'

Perlahan, tawa Masaomi mereda. Pria itu kembali mengambil satu macaron dan melahapnya.

"Kau yakin tidak mau mencobanya?"

Akashi menatap ayahnya datar. Namun, Masaomi tampak acuh dan malah menikmati tehnya. Meletakkan cangkir yang isinya kini berkurang hampir separuh, Masaomi kembali menaruh perhatiaannya pada Akashi, mengamatinya lekat. Tampak kilat misterius menari-nari di sepasang ruby itu, membuat perasaan Akashi seketika tidak nyaman. Ia paling tidak suka ketika pria tua di depannya bersikap seakan tahu segalanya.

Fated to You {AkaKuro}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang