Dddrrrttt... Dddrrrttt... Dddrrrttt...
Getar ponsel yang enatah ada di mana mengusikku dari tidur. Tanpa membuka mata, tanganku meraba-raba nakas samping tempat tidur untuk menemukan benda persegi tersebut. Getaran ponsel itu masih terasa di tanganku ketika aku menyentuhnya, namun getaran itu hilang tepat setelah benda itu sampai di depan wajahku. Yang tertinggal hanya satu notifikasi tanda panggilang tak terjawab.
Siapa? Pertanyaan kecil itu sempat mengganguku selama beberapa detik. Ya, hanya beberapa detik, sebelum aku mengabaikannya lagi. Kepalaku masih pusing, dan hal itulah yang menahanku untuk tidak segera bangkit.
Dua hari ini sudah terlalu buruk buatku. Tentu saja dibangunkan dari tidur dengan cara yang tidak alamiah --seperti karena suara ponsel-- buknlah sesuatu yang bisa mengembalikan mood-ku.
Kemarin malam aku baru sampai rumah sekitar jam sembilan. Perjalanan dari Yuzawa sebenarnya tidak terlalu lama, tapi anehnya aku merasa sangat lelah sepanjang hari. Sesampainya di kamar, tubuhku langung roboh seketika di atas kasur. Itulah hal terakhir yang ku ingat. Aku bahkan tidak ingat kapan aku tertidur. Sekarang tahu-tahu sudah pagi saja. Tungggu dulu, apa benar sekarang masih pagi?
Ah, siapa peduli? Lebih baik tidur lagi.
Sialnya, ketika aku hendak menutup mata kembali, benda mungil di tanganku kembali bergetar. Sial! Runtukku dalam hari.
Setelah mengucek mata selama beberapa detik, aku membaca nama yang tertera pada layar ponsel. Linda? Panggilan telepon ini dari Jakarta?
"Halo, Natsumi."
"Iya, halo," jawabku dengan suara parau. Aku harus mengaktifkan mode Bahasa Indonesia pada otak dan mulutku tiap kali bicara dengan Linda.
"Ya ampun ada apa denganmu, Natsumi? Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu seharusnya diucapkan dengan nada khawatir. Tapi yang terdengar di telingaku hanyalah teriakan keras yang memekakkan telinga. Baik di telepon maupun secara langusng, Linda memang senang bicara dengan suara keras seperti itu. Kuharap aku tidak membuatnya tertawa sekarang, atau pendengaranku akan rusak permanen. Lagi pula aku juga sedang tidak ingin tertawa –atau lebih tepatnya 'tidak bisa.'
"Aku baik-baik saja. Apa maksudmu?" Aku bangkit dari tempat tidur. Selama obrolan --yang baru berlangsung beberapa detik-- ini aku sadar kalau usahaku untuk kembali tidur akan sia-sia.
"Suaramu.... Kamu sakit, ya?" tanya Linda, ada lengkingan tajam di akhir kalimatnya. Sekarang bayangan wajah Linda yang tengah bicara dengan nada tinggi mulai terlintas di benakku. "Sudah ku bilang kan, jangan menghabiskan sendiri semua oleh-oleh yang kuberika padamu. Kamu pasti terlalu banyak makan cirengnya, kan? Ngaku!"
"Ngaco!" dengusku. "Aku baik-baik saja. Linda."
"Biar ku tebak..." Linda sepertinya sengaja memberikan jeda dramatis pada kalimatnya agar terkesan seperti Cyril Takayama yang tengah membaca pikiran seseorang. "Kamu pasti baru bangun tidur, ya?"
"Hehehe, iya."
"Tuh kan baru bangun. Sekarang di Jakarta saja sudah siang, apalagi di Tokyo," gerutu Linda. "Jam segini baru bangun. Oh kamu nggak mungkin 'baik-baik saja,' Natsumi."
Aku bangkit dari kasur kemudian berjalan menuju jendela di seberang ruangan. Tirai yang baru saja kusibak membenarkan ucapan Linda, ternyata sekarang memang sudah siang. "Mungkin cuma kelelahan."
"Yakin?"
"Kau yakin?" Tiba-tiba saja bayangan wajah Airi terlintas di kepalaku. Disusul dengan bayangan wajah Daichi saat pertengkaran hebat itu. "Terbiasa menyendiri membuatmu hanya memikirkan diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETE] Even after all these years
Romance[TELAH TERBIT BERSAMA PENERBIT KORU - MARET 2019] Bagi Natsumi, keputusan untuk pulang ke Tokyo, berarti keputusan untuk berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu apa? Oh, Natsumi benci membicarakannya. Sekarang, ia hanya berharap kalau semuanya...