Aku berjalan menuju bangunan besar di ujung jalan dengan langkah agak diseret. Jika ada yang bertanya kenapa aku bejalan selambat ini, mungkin aku akan mengatakan kalau jalanan yang agak menajak inilah yang memperlambat langkahku. Tentu saja aku tidak mungkin mengatakan alasan sebenarnya.
Sejak bangun tadi pagi, semua hal disekelilingku terasa buruk. Aku baru menyadari kalau email yang kukirim pada Linda semalam terasa penuh dusta. Aku menyesal mengataka kalau reuni itu menyenagkan. Kalau ada kesempatan mungkin aku akan meralatnya, reuni kemarin sama sekali tidak menyenangkan, reuni kemarin adalah mimpi buruk. Semua gara-gara aku mengiyakan permintaan bodoh itu.
Sampai tengah hari pun sebenarnya aku masih ragu untuk berangkat. Kalau tidak mencoba berpikir positif –ya, aku mencobanya, aku mencobanya setengah mati– mungkin aku sudah mengurungkan niatku untuk berangkat. Sayangnya, walaupun telah menemukan motivasi untuk berangkat, tapi suasana hatiku tetap tidak membaik. Kalau saja ada orang yang kebetulan berpapasan denganku, mereka pasti akan langsung mengerti apa yang kurasakan, tanpa perlu membaca tulisan 'bad mood' yang tergantung di dahiku.
Sembari berjalan, aku merapatkan sweater tebal yang kukenakan, kemudian memasukan kedua tanganku ke dalam saku. Oh, cuaca dingin ini semakin memperburuk suasana hatiku. Sekarang sudah hampir sore, tapi matahari sama sekali belum terlihat. Sepertinya hari ini memang tidak ditakdirkan untuk jadi hari yang cerah.
Begitu jalanan menanjak ini berakhir, sebuah bangunan besar bertembok kelabu terlihat berdiri kokoh. Bagian tengahnya lebih tinggi dibanding kedua sisisnya. Di bagian depan, sebuah gerbang sederhana bercat hitam dalam kondisi setengah terbuka. Di sampingnya, terlihat seorang laki-laki yang sedang bersandar pada tembok di sisi gerbang. Tubuhnya menutupi papan nama sekolah. Padahal kalau ia bergeser sedikit, akan terlihat jelas sebuah papan nama yang bertuliskan 'Nishizawa koukou. SMA Nishizawa.'
Laki-laki yang berdiri di depan sana terlihat seperti seorang siswa SMA Nishizawa. Ia mengenakan seragam lengkap berupa kemeja putih berlapis blazer abu-abu. Kepalanya yang ditumbuhi rambut tebal terlihat menengok ke sana kemari seperti mencari seseorang. Begitu melihat kedatanganku, ia melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku.
Aku tidak percaya dengan pengelihatanku sendiri. Kurasa ini semua salah. Ini tidak mungkin. Aku sampai mengerjapkan mata berkali-kali, dan... BINGO! Ternyata dugaanku tepat. Ini semua memang salah dan tidak mungkin. Laki-laki itu memang melambai ke arahku, tapi ia bukan siswa SMA Nishizawa, melainkan Nakamura Daichi.
Kenyataan itu malah membuatku sebal. Dan apa yang Daichi lakukan membuatku semakin jengkel padanya. Aku baru melihatnya selama kurang dari lima detik, dan ia sudah membuatku gusar. Oh, bagaimana aku akan melalui sisa hari ini bersamanya?
"Kau terlambat!" ujar Daichi begitu aku tiba di hadapannya.
Apa-apaan dia? Tanpa basa-basi ataupun menyapa terlebih dahulu, ia langsung menyalahkan keterlambatanku. Tidak, tidak, bukan berarti aku mengharapkan disapa olehnya. Hanya saja, tidakkah ia berusaha untuk memperbaiki mood-ku? Oh, aku juga tidak berharap kalau ia bisa membuatku senang. Hanya saja... Hanya saja... Aarrgghh aku menyerah! "Aku tidak memintamu menungguku."
"Apakah tinggal selama lima tahun di Indonesia menjadikanmu tertular kebiasaan buruk mereka soal waktu?"
Lagi-lagi menuding tanpa tahu apa-apa. Entah apa alasannya berkata begitu. Mungkin sekedar basa-basi? Atau mungkin untuk mencairkan suasana? Namun apapun alasannya, caramu kali ini salah besar, Nakamura Daichi! "Kau boleh mengatakan apa pun tentangku. Tapi asal kau tahu, aku tidak terima kalau kau menjelek-jelekan mereka," balasku dengan mata melotot. "Lagipula kau pikir siapa yang membuatku pergi ke Indonesia?"
![](https://img.wattpad.com/cover/97313324-288-k141857.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETE] Even after all these years
Romance[TELAH TERBIT BERSAMA PENERBIT KORU - MARET 2019] Bagi Natsumi, keputusan untuk pulang ke Tokyo, berarti keputusan untuk berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu apa? Oh, Natsumi benci membicarakannya. Sekarang, ia hanya berharap kalau semuanya...