Sosok tua, usia sembilan puluh dua tahun itu menyandarkan kepala pada sandaran kursi goyang, membuat kursi goyang berderit-derit, bergoyang perlahan. Kayu kursi goyang yang juga sudah tua tersebut tampaknya begitu lelah untuk bergoyang terlalu lama, terlalu tidak tega membuat guncangan keras pada badan tua yang tengah bersender perlahan di sandaran kursi. Menikmati pagi yang mulai merangkak perlahan. Kornea matanya yang abu-abu menatap langit pagi itu, menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
Langit cerah dengan tingkat kontras biru dan putih yang pas, tampias sinar matahari pagi membuat garis kuning yang samar-samar di langit. Awan berarak dengan perlahan, berarak searah dengan angin, yang juga berhembus dengan sangat menawan pagi ini. Arakan awan yang anggun, arakan awan yang selalu putih dan patuh pada angin, tak pernah sekalipun membantah bahkan ingkar dengan perintah sang angin yang membawanya berlari.
Bahkan jika dilihat dari proses terbentuknya, peran angin menempati posisi strategis bagi kapas-kapas putih di langit sana. Kapas-kapas putih yang elok, kapas-kapas putih yang masih saja ceria, masih seputih puluhan tahun silam, kapas putih yang juga banyak menyimpan cerita.
Karena bentangan langit yang sangat luas di atas sana, juga bagian dari ladang-ladang cerita, bagian dari episode-episode yang terpenggal dari sebuah cerita. Arakan awan yang terbentuk dari perputaran angin yang sangat piawai nan cantik. Dari dulu hingga sekarang, arakan awan di langit itu tetap tidak berubah, bahkan saat mata yang menatap dulu masih hitam bercahaya, kini arakan awan di langit tetap putih, walaupun mata si pemandang sudah abu-abu.
Langit yang telah tercipta milyaran tahun silam tetap sama, tidak pernah berubah. Hingga si penatap langit itu kian hari kian tua. Seperti sosok sembilan puluh dua yang tengah duduk di kursi goyang itu, puluhan tahun silam, dia juga menatap langit yang sama, membingkai awan seputih kapas dengan sebuah cerita, cerita puluhan tahun silam yang masih saja dikenangnya hingga kini, cerita tentang sepotong awan putih di langit.
***
"Awannya berbentuk kelinci!" Jangkung yang belakangan dipanggil Marmut oleh Alin berteriak histeris. Alin mendongak seraya mencari kebenaran dari kata-kata si Marmut, karena selama ini dia sudah berulang kali dibohongi oleh kawan yang sudah beberapa bulan ini selalu menemaninya.
"Bohong!" Alin menimpuk bahu Marmut dengan gemas.Tertawa.
Saat itu, mereka berada di belakang kampus, berdua duduk lesehan di atas rumput, bolos kuliah, absen ikut kelas, malas. Tempat itu tempat tersembunyi, merupakan bagian dari taman kampus yang sudah jarang dikunjungi orang, tempat berupa gundukan tanah yang ditumbuhi rumput lembut dan nyaman dibuat duduk lesehan.
Sebuah tempat yang mendatangkan banyak cerita, tempat Marmut-Kelinci lari dari kelas saat malas kuliah, lari dari kebisingan kampus saat sedang tidak berselera melakukan aktifitas kampus. Di tempat itu pulalah, mereka untuk kedua kalinya dengan sangat apik dipertemukan Tuhan, dalam sebuah kebetulan yang sungguh sangat tidak disangka.
Pertemuan kedua yang ternyata menjadi pembuka bagi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Kala itu, Alin sedang mengendap-ngendap, malas ikut mata kuliah, dia ingin istirahat sejenak, tangannya menggenggam sebuah koran yang akan dikolonginya dengan spidol, mencari pekerjaan. Peristiwa secangkir kopi sudah lewat hampir seminggu, bahkan Alin-pun tidak pernah bertemu lagi dengan jangkung yang mendapat gelar kehormatan dengan sebutan Marmut darinya. Karena seperti cerita-cerita penghibur lainnya, Alin sudah mulai menganggap Marmut siang itu adalah bentuk hiburan Tuhan yang dikirimkan untuknya.
Hingga siang itu, siang yang sama seperti siang di kedai kopi dulu, siang untuk pertemuan yang kali kedua, sebuah siang yang tidak biasa. Siang yang juga membuat sebuah cerita.
"Kelinci?" suara bariton mengagetkan Alin yang tengah duduk berselonjor di gundukan tanah tersebut, dia kelelahan hanya duduk saja termenung, hingga sebuah suara besar mengagetkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marmutkelinci143@yahoo.com
RomanceJika cemburu tidak membuat segalanya saru, maka izinkan aku bercemburu! Sayangnya cemburuku padamu menjadi sedemikian tabu. Tak seharusnya aku menyimpan rasa ini! Kelinci begitu panggilmu kepadaku, akupun memanggilmu dengan Marmut, sayangnya harus a...