Act 1: Part 4. Hope

783 94 28
                                    

Happy reading!

Jangan lupa vote dan comment ya!

***

Aku pasti bisa melupakannya. Kalimat itu terus kutanam dalam benakku.

Kejadian semalam hanya akan menjadi kenangan yang perlahan akan terkikis waktu. Sama seperti mimpi burukku yang segera terlupakan seraya mataku terbuka di pagi hari bersama terbitnya mentari. Tidak ada dan tidak akan ada yang tahu perihal apa yang terjadi.

Untuk ke sekian kalinya, lidah cahaya menyambar bumi. Diiringi gemuruh langit. Rintik-rintik air masih belum henti turun dari angkasa, seakan mereka berlomba menyentuh bumi. Seolah belum lengkap badai yang berkecamuk hari ini, pawana turut menyertai.

Jika memang benar hujan berasal dari tangisan sang langit, lalu apa yang langit tangisi? Mungkinkah berduka atas nasib kami? Dan jika badai berarti amarahnya, lalu gerangan apa yang ia murkai?

Di kursinya, Ayah tersenggal-senggal seraya memukuli dadanya. Walau itu sudah tidak aneh lagi, namun mataku masih tidak terbiasa melihat keadaannya. Ayah mengalami cedera bertahun-tahun silam, membuatnya dipulangkan dari tugas militer.

Kini Ayah hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi. Setidaknya dia dapat lolos dari maut berkat kepiawaian rekan medisnya.

Memang beda hasilnya dengan kepiawaian penyembuh Api. Namun mereka takkan repot-repot memikirkan nyawa prajurit Air.

Kebanyakan penyembuh Api bahkan tidak bekerja di medan perang untuk menjaga sisa jatah hidup prajurit. Mereka menetap di kota-kota Api, memperpanjang umur sesepuh Api atau semacamnya.

Ayah Kylain tidak seberuntung itu. Tuan Argentum pulang dalam kotak sepatu. Ibunya depresi berat melihat kepulangan suaminya, hingga akhirnya meninggal. Kini Kylain tinggal dengan keluarga sepupunya, keluarga Aranea.

Kylain sangat bersyukur karena mereka begitu baik mengurusnya yang hanya sebatang kara. Dan dua bulan lagi, orang tua Aranea harus melihat kedua anaknya dibawa anggota legiun. Bukan perkara yang mudah bagi setiap orang tua menyaksikan itu.

Beranjak dari tempat, langkah membawaku kembali ke kamar. Di sini tidak begitu luas, tapi setidaknya cukup nyaman. Ibu masih sibuk berbisnis dengan kliennya yang bernama kebocoran.

Aku membaringkan tubuhku sambil menatap jendela di samping. Hari ini aku membolos. Lagi pula takkan ada guru yang mau repot-repot berperang dengan hujan demi muridnya. Biasanya juga begitu.

Kututup mataku, berharap pintu menuju negeri impian segera terbuka.

Cklek!

"Psst, bangun."

Seseorang tengah berbisik di ambang pintu. Aku membuka sebelah mataku, mendapati gadis bersurai cokelat kemerahan dengan manik kelamnya melambaikan tangan. Fresa.

"Pergilah," gumamku tanpa berharap Fresa benar-benar mendengarnya. Petir di luar sana kembali menyambar dan hening pun menyertainya. Mungkin dia sudah pergi.

"Hei, Ariel, bangun." Telingaku menangkap suara yang tak ingin kudengar. Kali ini dia melempar kerikil atau semacamnya ke dinding kamar dan aku masih tak bergeming seperti orang mati. "Oh, ayolah,"

Baiklah. Aku menggeser tubuhku dan mengerang ke bantal. "Kau tahu, terkadang kuharap Ibu mengajariku menjahit sehingga aku bisa merapatkan bibirmu."

"Sungguh manis sekali. Sekarang, bangunlah!"

Setelah berhasil mendudukkan diri, Fresa segera menyambar masuk ke kamarku. "Aku mengunjungi Focalb kemarin."

Silver KnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang