1996
Biar ku perkenalkan dirinya melalui aku. Dengan disertai rasa cinta, kebahagian, dan penuh hikmad yang mejalar di tubuh. Melalui ini, kuperkenalkan Kenisya Jarlikas. Dia yang memiliki senyum bagus, berwajah cantik yang tak sebanding dengan wajahku yang biasa-biasa saja. Nisya memiliki rambut hitam yang dipotong pendek bergaya bob-seperti tren di tahun 90-an. Dia yang selalu menggunakan jaket jeans dan menggunakan bando.
Dan seperti ini perjalanannya.
Pertama kali. Saat aku sedang semangatnya mengayuh sepeda, Nisya melewatiku untuk pertama kali. Tapi maaf, aku tidak sempat memberimu senyum pagi, seperti sinar matahari pagi yang hangat. Waktu itu aku mungkin sedang sibuk mengingat wajahmu, Nisya. Sibuk mengingat bagaimana wajahmu nanti ketika aku menyapamu lebih dahulu. Mungkin kau akan senang? atau kurang dari itu.
Matahari pagi itu meninggalkan embun di dedaunan. menetes. Jatuh ke bumi. Seperti saat itu, aku selalu diam-diam melihatmu menuju sekolah melalui sepeda, hingga jatuh terhadapmu.
❌❌❌
Hingga seminggu berlalu, aku mulai menyapa Nisya.
Entah mengapa, pagi itu aku tiba-tiba saja memberhentikan sepedaku di depannya, mengajaknya untuk berangkat ke sekolah bersama. "Nisya, mari naik," kataku, memberanikan diri.
Nisya melihat sepedaku sebelum melihatku. Aku pikir mungkin dia kebingungan. siapa aku? Mengapa aku tiba-tiba mengajaknya? Aku cuman tertawa melihatnya. "Nisya, silakan."
"Siapa?" katanya.
Aku tertawa lagi, lucu dia itu. "Sekolahmu sama kayakku, Nisya. Hanya beda kelas saja."
Lalu dia mulai duduk dan aku kembali mengayuh sepedaku.
❌❌❌
Sebelumnya biar kuberitahu padamu bahwa aku tahu namanya ketika aku dan Dimas sedang makan di kantin, di hari pada saat pertama kali kulihat Nisya melewatiku. Dimas memulainya, "Woy Ric, aku nemu cewek. Cantik."
Aku yang sedang meminum es jeruk berusaha meneguknya cepat. "Hah? Sama."
"Kenisya namanya, mau kugebet nanti."
Aku tertawa. "Yang mana orangnya?"
Kepala Dimas menengok ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu, lalu menunjuk cewek yang menggunakan bando di kepalanya. Matanya, mengisyaratkanku untuk melihat kepada cewek itu. "Nisya."
Aku tertegun. "Cewek cantik itu yang kutemui kemarin."
Dimas lebih heran daripadaku. "Hah? Sungguh? Aaaaah, aku tak bisa memiliki dia kalau begitu."
Aku tertawa melihat Dimas berbicara begitu. Seperti biasa, Dimas sangat menjunjung kesetiakawanan. "Siapa tadi itu? Nisya namanya?"
Dimas meneguk minumannya dengan kepala mengangguk. "Cepat kau dapatkan, Ric."
Waktu itu di dalam hatiku hanya ada suara, ah nanti saja, jika aku siap dan terlebih Nisya siap. Aku tidak ingin cepat-cepat.
Oleh karena itu, saat aku membonceng Nisya, aku bertanya banyak hal. Terlebih bagaimana rasanya bersekolah di sekolah yang sedang kita tempati.
"Seru, asyiiiik," katanya.
"Asyikkk bisa membonceng kamu," kataku, entah kenapa aku bisa mengeluarkan kalimat itu.
"Hah?" tanyanya seakan tidak mendengarkan apa yang dikatakanku tadi.
Aku berkata lagi, dengan sedikit berteriak, "Mengasyikan bisa membonceng kamu, Nisya."
Setelah itu, udara seakan tidak ada lagi untuk menghantarkan suaraku ke dia. Hening. Hingga ketika sampai di sekolah, Nisya berterima kasih. Aku binggung, kenapa dia berterima kasih, itu sudah menjadi bagianku. Menjadi tugasku. "Tidak, Nisya. Itu sudah jadi tugasku."
Nisya tertawa, berterima kasih kembali sebelum pergi menuju kelasnya.
❌❌❌
Aku harus bagaimana lagi selain melihat Nisya dari jauh. Dimas yang di sebelahku menepuk pundak, menyemangati. "Hush, sana."
Bukannya aku tidak ingin mendekati Nisya, hanya saja kekuatanku belum tinggi. Coba saja aku punya kekuatan kala itu, mungkin Nisya akan lebih cepat mengenalku.
Aku lebih memperhatikan dengan seksama kala pria bertubuh gemuk serta memiliki kumis tipis mendekati Nisya. Kulihat Nisya menepis tangan pria yang hendak merangkul pundak Nisya.
"Nisya, Nisya," kata Dimas disebelahku seperti sedang memanggil Nisya. Dimas yang kala itu sedang memperhatikan Nisya di meja kantin. "Bahaya itu mah," sambungnya.
Mendadak saja aku naik darah saat itu. Ku pukul meja itu. Ku tendang kaki meja itu. Tak berani mendatangi Nisya. Payah memang, tapi aku memang harus menjaga diriku dulu sebelum siap tempur untuk Nisya nantinya. Mudah-mudahan.
"Kenapa gak maju si abang?" tanya Dimas yang selalu memanggilku si abang. Aku menggeleng sebagai jawaban.
Mataku masih melihat Nisya yang hari ini memakai bando putih. Indah sekali bak lukisan. Untung, Nisya segera berlari ke arah kantin sebelum pria gemuk tadi macam-macam lagi.
Sesaat, tubuhku serasa kaku ketika Nisya melihatku. Saat itu pun Nisya memberiku senyum yang langsung dibalas denganku. Aku senang sekali waktu itu. Rasanya seperti apa ya? Seperti kamu ingin sekali merobek langit dan langit ikut menjadi porak-poranda sama sepertimu.
Dimas langsung meyenggolku jahil. "Lihat siapa yang terpesona. Aduhai, indah sekali hidup si abang ini."
Aku tertawa. Aku berpikir untuk besok-besoknya aku harus mengajak Nisya tersenyum dan tertawa. Tidak lebih dan tidak kurang- sangat pas- sama seperti hari itu.
Author Note
Gimana ceritanya? Bagus? Seperti kehidupan tahun 90-an? Mudah-mudahan.
Tadinya, pingin update besok. Tapi tangan serta pikiran saya sangat sangat tidak bisa dikendalikan untuk segera update cerita ini. Uh-oh, jadi sekarang saya update saja.Harap Vote & comment untuk memberi saran. Thanks :)
10 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Since 1980
Historia Corta"Dulu sekali, sebelum kau dan aku dipertemukan, mungkin duniamu sudah menjadi milikku, Nisya. Siapa yang tahu? Mudah-mudahan Tuhan memang ingin kita begitu."- Rico Sebastian. Copyright © 2017 by Gabrielajovs