Sebuah mobil fortuner hitam gagah terlihat memasuki sebuah perkampungan, roda roda tangguhnya dengan mudah melahap batu batu dan lubang lubang yang menghalangi jalannya. Para penduduk yang tak biasa dengan hal itu pun terpana melihatnya, mulutnya bergumam kata takjub dan bingung.
Mobil itu pun berhenti saat sudah sampai disebuah rumah sederhana bernuansa kayu. Plang didepan rumahnya menunjukan kalau itu rumah dari kepala desa.
Sang pemilik mobil pun turun dengan setelan kasualnya yang bergaya, dengan kacamata hitam bertengger dihidung mancung lagi tangguh itu, sepatu boots-nya dengan gagah menapaki tanah. Dialah, Erwin Natio. Pemilik sebuah perusahaan tersohor tanah air.
Sementara dari pintu penumpang lainnya, turun lah seorang gadis ayu nan cantik, dengan gaya kasual layaknya anak kota yang tentunya jarang ditemui dikampung seperti ini. Dilehernya terkalung sebuah kamera keluaran terbaru, yang tentu harganya tak biasa.
Saat sampai keduanya disambut oleh tuan rumah, seorang kakek tua yang memliliki postur tubuh yang masih segar bugar. Menyambut mereka dengan ramahnya.
"Saya Ahmad Sapardi, kepala desa disini". Ia menjabat tangan sang pengusaha kaya itu.
"Saya Erwin Natio, ini putri saya Shani namanya". Erwin pun tak lupa memperkenalkan anaknya.
Shani mengangguk sambil tersenyum saat sang Papa menyebut namanya.
"Cici tunggu sini, Papa mau masuk ke dalam. Kamu jangan pergi jauh jauh". Pesan sang Papa. Gadis itu mengangguk patuh dengan senyum tipis. Sementara si kepala desa dan Papanya melanjutkan obrolan didalam, Shani berjalan ke taman disamping rumah ini. Ia duduk dibangku taman sendirian, menatap pada hamparan sawah yang begitu luas.
Sesekali ia coba bidikan kameranya pada pemandangan itu, hal seperti ini patut diabadikan pikirnya. Ia pun sangat berterima kasih pada Papanya, karena mau membawanya ke tempat seindah ini. Karena kebetulan sedang libur panjang sekolah juga.
Saat sedang memotret, kameranya tak sengaja terfokus pada seorang gadis, dengan penampilan tomboy dan rambut pendek sebahu, gadis itu sedang mendorong sepedanya dipinggir sawah. Matanya tak lepas memandangi gadis itu, wajahnya begitu teduh dan manis, hingga Shani pun terhipnotis.
Ia tak menyia-nyiakannya, Shani langsung mengambil gambar gadis itu.
*********
Shani, gadis dengan wajah letih itu turun dari mobil. Bagaimana tidak? Seharian mengelilingi kampung dengan berjalan kaki pasti sangat melelahkan. Ia pun membiarkan supirnya yang membawakan tas dan koper miliknya. Sementara gadis itu langsung masuk ke dalam vila ditemani oleh pelayan divila itu.
Setelah sampai dikamar, Shani tak mau membuang buang waktu lagi, ia langsung memanjakan dirinya dengan berendam diair hangat. Tubuhnya yang terasa pegal pun menjadi rileks. Ia sempat memejamkan matanya beberapa menit untuk merasakan ketenangan.
Setelah setengah jam berendam ia segera beranjak, mengganti pakaiannya dengan piyama untuk tidur. Ia tadinya ingin langsung tidur, tapi seorang pelayan mengetuk pintunya, ternyata Papanya sudah menunggunya dimeja makan untuk makan malam. Mau tak mau ia turun.
Kakinya yang tanpa alas menapaki lantai tangga yang halus dan dingin, dimeja makan Papanya sudah duduk manis dengan berbagai menu makanan didepannya. Shani pun duduk berhadapan dengan Papanya.
"Cici maaf ya Papa gak bisa temenin kamu, Papa ada urusan. Nanti pagi kalau mau jalan jalan kamu minta antar Pak Salman aja". Ucap Papanya. Shani mengangguk maklum. Ia cukup tau dan mengerti tentang kesibukan Papanya. Lagipula ia bukan tipe anak yang banyak menuntut, Papanya sudah mau mengajaknya kesini saja ia sudah senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
48 Hours Journey
Fanfiction48 jam penuh perjuangan. 48 jam penuh tantangan. 48 jam penuh pengorbanan. 48 jam penuh petualangan