17. Accident

48 11 25
                                    

Aku terbangun di ruangan beraroma menyengat dengan suasana serba putih. Ada yang terasa sakit di kepalaku. Aku menatap langit-langit ruangan ini sembari mengingat apa yang terjadi. Glen!. Aku ingat.

Dimana dia?

Aku memegangi kepalaku yang terasa sakit, ada sesuatu yang melingkar disana. Aku akhirnya sadar bahwa aku berada di rumah sakit setelah melihat infus ditanganku. Tak lama kemudian aku melihat wanita paruh baya berambut coklat bergelombang memakai kacamata dengan frame berwana peach. Ia mom, wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku. Tampak raut haru diwajahnya lalu ia memelukku dan terus bertanya padaku apakah aku baik-baik saja.

"Ya, aku tak apa mom, aku hanya ... pusing" balasku sembari melontarkan senyum kecil dari bibirku ini.

Mom tak menjawab dan terus menangis di pundakku. Situasi ini membuatku semakin bingung. Aku bahkan tak terlalu mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, yang kuingat hanyalah Glen yang mendorongku kemarin.

"Melody putri kesayanganku, akhirnya kau bangun my dear" teriak dad dari jarak sekitar 3 meter dariku.

"Bagaimana keadaanmu? Kau sudah baikan kan? Kau tak apa-apa kan? Ah lupakan pertanyaanku, yang terpenting sekarang aku akan panggil dokter." tambahnya.

"Tunggu-tunggu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku yang memang sudah bingung sejak aku membuka mata beberapa menit yang lalu.

"Melody, my dear daughter kau belum sadar sejak 2 hari terakhir, kepalamu terbentur terlalu keras, tapi syukurlah tak ada sesuatu yang serius" jelas mom padaku sembari mengelus kepalaku.

Aku terdiam seribu bahasa mendengar penjelasan mom. Apanya yang tidak serius jika aku saja tak sadarkan diri selama 2 hari. Banyak pertanyaan dalam kepalaku. Hal yang paling mengganjal dibenakku adalah Glen. Laki-laki yang entah sejak kapan aku menyukainya. Sikap cool dan calmnya selalu menarik perhatianku. Tapi aku berharap apa?. Aku hanya gadis berusia 16 tahun yang tak pernah tau apa yang kurasakan padanya itu adalah benar atau tidak. Apa itu cinta atau sekadar kekaguman sementara bagai angin yang datang dan pergi kapanpun. Aku yakin aku menyimpan perasaan ini sejak lama. Tapi entahlah. Aku bahkan tak tahu pasti definisi cinta yang sebenarnya. Yang aku tau hanyalah cinta yang kurasakan dari mom dan dad. Cinta mereka begitu hangat dan membuatku nyaman.

Belum sempat aku bertanya pada mom lebih jauh, dokter telah memasuki ruanganku diikuti dad di belakangnya. Dokter yang memakai tag nama Oliver ini mengecek keadaanku dengan begitu telitinya. Jujur saja aku tidak nyaman akan pemeriksaan ini. Tapi aku masih perlu mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaanku.

"Ia akan segera sembuh ... tapi ia butuh istirahat total, dalam beberapa hari ia akan segera sembuh" ucap Mr. Oliver pada orangtuaku lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Orang tuaku masih nampak cemas walaupun Mr. Oliver sudah berkata begitu. Mungkin karena aku anak tunggal.

Kurasa waktu berlalu lebih lama dari biasanya. Kini sudah tengah malam lewat 9 menit. Suara jam berdetik yang terdengar jelas seakan melengkapi kesunyian ini. Aku menatap wajah Mom dan Dad yang sedang terlelap. Kelelahan nampak jelas di wajah mereka.

Pandanganku teralihkan pada ponselku yang tiba-tiba saja bergetar. Ada notifikasi panggilan masuk disana. Sebuah panggilan masuk dari Glen! Tanpa pikir panjang tentu saja aku langsung menjawab panggilan itu. Sejak aku sadarkan diri tadi siang, pikiranku tak tenang memikirkannya.

"Halo, Glen? Kau baik - baik saja?" ucapku lirih agar orang tuaku tak terbangun.

Tak kudengar jawaban apapun dari Glen.

"Glen? Kau mendengarku?" aku agak mengeraskan volume suaraku.

Lagi-lagi tak ada jawaban. Lalu, panggilan itu terputus.

White LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang