"Sayang, katanya badannya pada sakit? Kok bukannya istirahat malah lagi ngapain tuh?"
Yulia menghampiri Arinda yang tengah duduk bersandar di tempat tidur sambil serius menggambar sesuatu di atas sketch book.
"Cuma ngegambar kok, Ma."
Arinda terus melanjutkan kegiatan yang sejak kecil sudah menjadi hobinya. Maklumlah, profesi kedua orang tuanya bergelut dengan gambar-menggambar, jadi bakat itu menurun padanya. Saat masih duduk di bangku TK sampai SD, ia selalu menjadi juara lomba menggambar baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar sekolah.
"Lagi ngegambar apa sih?"
Yulia melongok buku sketsa yang ada di pangkuan Arinda namun anaknya itu langsung menutup lalu menyembunyikannya di balik punggung. Ia bisa malu jika mamanya tahu ia sedang menggambar sketsa wajah Elang.
"Gambarnya belum beres, jadi Mama nggak boleh lihat dulu," kata Arinda beralasan.
"Hmmm ... oke," balas Yulia yang tidak mau memaksa Arinda untuk menunjukkan gambar padanya. "Sayang ada si Aa tuh. Mau nengok kamu, katanya," lanjutnya.
"Si Aa siapa?"
"Elang."
"Oh. Kirain si Aa Arya yang nyebelin itu."
"Nggak boleh gitu, ah."
"Terus sekarang Kak Elang mana?" tanya Arinda mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau pembahasan soal Arya menjadi berkepanjangan.
"Ada di bawah lagi ngobrol sama Papa. Kamu turun, yuk!"
"Kakiku masih sakit, Ma. Nanti tambah sakit kalo dipake turun naik tangga. Kak Elang aja yang suruh ke sini."
Yulia juga sebenarnya tidak tega jika harus menyuruh Arinda turun ke lantai bawah, tapi mau bagaimana lagi? Kini Arinda dan Elang sudah berpacaran. Ia merasa risih dan khawatir jika mereka berada dalam satu kamar walau situasinya Arinda sedang sakit dan Elang hanya datang menengok. Beberapa hari yang lalu saja ia memergoki mereka sedang berpelukan di dalam kamar dan parahnya Arinda yang memulai. Ia khawatir dari hanya sekedar berpelukan malah nanti berlanjut ke hal-hal yang lebih dari itu. Tahu sendiri, banyak godaan yang mengintai orang pacaran.
"Ya udah deh, biar si Aa yang suruh ke sini," putus Yulia setelah tak lama berpikir. "Tapi nanti kamu jangan macem-macem, jangan main peluk segala kayak waktu itu. Pokoknya ngobrol aja. Ngerti?"
"Iya, Ma. Aku ngerti."
Setelah Elang pulang, Arinda langsung diceramahi panjang lebar oleh mamanya saat itu, saat ia ketahuan berpelukan dengan Elang di dalam kamar.
"Si Aa emang keliatannya bisa ngendaliin diri, tapi kalo kamu agresif kayak gitu, si Aa juga bisa lepas kendali. Ingat, sekarang kalian bukan kakak adik lagi, tapi udah pacaran. Sebagai perempuan kamu harus bisa jaga diri ..."
Begitulah sepenggal dari isi ceramah sang mama yang masih diingat Arinda. Ia hanya bisa menunduk, tak berani menatap wajah mamanya yang sedang berapi-api kala itu.
"Mama ke bawah dulu, mau panggil si Aa."
Arinda mengangguk dengan semangat. Setelah mamanya sudah tak terlihat lagi, ia mulai membenahi diri. Ia tak mau terlihat berantakan di depan sang kekasih, ia ingin selalu tampil cantik di depan lelaki yang dicintainya.
Tok tok tok
Arinda yang baru saja menyalakan layar ponsel mendongakan kepala dan di sana, di ambang pintu berdiri sang kekasih hati yang masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Lelaki itu memegang buket bunga di tangan kanan dan di tangan kirinya ia menenteng sebuah plastik putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERJERAT PESONA KAKAK
Romance(SUDAH TERBIT) "Kakak, I love you as a woman loves a man ...," ucap Arinda pada Elang