2. Bukankah Perempuan Memiliki Pilihan?

1.9K 196 84
                                    

Caitlin memasuki rumahnya, hari ini ia pulang telat. Dari gelapnya langit, ia tahu jika ini sudah hampir malam.

Harum masakan menyapa hidungnya saat ia masuk ke dalam rumah. Makanan sudah berjejer rapi di piring, di tata dengan baik di atas meja.

Ia menatap adik kecilnya dengan senyum. Sebenarnya, gadis itu bukan lagi anak kecil, dia sudah empat belas tahun. Namun bagi Caitlin, ia adalah adik kecil yang ingin sekali ia jaga dan lindungi.

"Kak Cait udah pulang." Evelyn, gadis itu menyunggingian senyum ketika mendapati Caitlin sudah sampai di rumah. "Evy masak ayam bakar kesukaannya Kak Cait, masih liat internet, sih. Tapi rasanya gak bad, kok. Walaupun bagian situ ada gosong-gosongnya dikit." Evelyn menampakkan jajaran gigi putihnya.

Caitlin tersenyum lembut. "Wah, kayanya enak. Kalo gitu, Kakak ganti baju dulu, ya. Ini donat, titipan Adnan buat kamu." Evelyn mengangguk mengiyakan, bibirnya tersenyum senang, kekasih Caitlin itu baik sekali.

Evelyn sudah biasa ditinggal sendirian jika Kakaknya itu belum pulang kuliah, dia juga tahu jika kakaknya memiliki banyak kesibukan sebagai Mahasiswi baru.

Setahu Evelyn, sisa uang yang diwariskan Almarhumah Ibunya masih cukup untuk biaya Evelun sampai lulus kuliah kelak, namun tetap saja, itu tidak bisa membuat mereka berdua bersantai dan menghamburkan uang. Mereka harus berhemat.

Meskipun Ayahnya masih bertanggung jawab, tetapi Caitlin ingin uang itu Evelyn saja yang simpan. Caitlin masih bisa membiayai hidupnya sendiri.

"Hayo, bengong!"

Evelyn tersentak ketika tertangkap basah tengah melamun. Matanya menyipit menatap Caitlin dengan sebal, Kakaknya itu memang jahil.

"Bengongin apa, sih?" Caitlin bertanya penasaran, adiknya ini tak jauh darinya, suka berpikir hal yang berat.

Kening Evelyn berkerut, ia menatap Caitlin mengerinyit. "Gak apa-apa, Kak. Evy cuma ... pusing aja. Di sekolah banyak masalah rasanya."

Caitlin mengambil piring dan juga satu centong nasi untuknya. Ia menatap gadis di sebelahnya dengan heran, pasti sedang memikirkan masalah orang lain.

"Siapa yang lagi ada masalah?" Evelyn menatap Caitlin takjub, tau saja, jika ia sedang memikirkan masalah orang lain.

Caitlin terkekeh menatap ekspresi adiknya itu. "Siapa?" tanyanya lagi.

"Eum ... temen Evy, Kak." Evelyn mengecilkan volume suaranya. Sungguh tindakan yang tidak perlu, dirinya hanya berdua dengan Caitlin di rumah ini.

"Dia habis diputusin sama pacarnya, terus dia nyayat pergelangan tangannya sendiri. Evy gak tahu itu fungsinya apa, maksud Evy, kenapa dia harus nyakitin diri sendiri buat orang yang bahkan gak peduli sama sama dia."

Caitlin mengangguk paham, jalan pikiran Evelyn sudah benar. Gadis itu kini menelan makanannya, menatap Evelyn dengan serius.

"Seusia kamu ini memang lagi suka cari perhatian, Eve. Mungkin memang kedengeran aneh buat kamu, tapi biasanya ngerasa suka sama lawan jenis di umur segitu memang wajar. Yang gak wajar itu kalau sampai berlebihan."

Caitlin tersenyum senang, tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala adiknya tersebut. "Kamu jangan sampai kaya begitu, ya. Nyiksa diri sendiri buat orang lain. Apalagi itu laki-laki."

Evelyn mengangkat dua jempolnya. "Siap, Kak Cait!" Beberapa detik kemudian, keningnya berkerut heran. "Tapi menurut Kakak, wajar gak? Nyakitin diri sendiri buat dikasihani sama pacar? Apalagi setahu Evy, cowoknya temen Evy itu udah punya cewek lagi."

Penta Toxic (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang