4. Mau Ngaku tapi Gengsi

1.7K 160 53
                                    

Ban mobil kempes di pagi hari menjadi kesialan tersendiri untuk Caitlin. Mana sempat ia mengisi angin.

Ia menyambar tasnya gusar, sambil mengenakan sepatu ketsnya ia berlari. Tidak ada heels untuk hari ini karena ia harus berlari mengejar bus yang sebentar lagi akan berangkat.

Pukul tujuh tepat. Tiga puluh menit lagi ia harus sudah ada di kampus. Mana sempat ia naik bus jika sudah jam segini, terlebih bus selanjutnya datang sekitar sepuluh menit lagi.

Suara klakson membuyarkan lamunannya. Caitlin mendapati mobil lengkap dengan pengendaranya berada tepat di belakangnya.

"Butuh tumpangan?" Arsen tersenyum manis.

Tanpa menimbang, Caitlin langsung memasuki mobil pria tersebut dan duduk di bangku sebelah pengemudi.

Arsen menjalankan mobil hitamnya. Ia bertanya tanpa menatap gadis di sebelahnya yang kini masih ngos-ngosan itu.

"Mobil lo, ke mana?" Caitlin menatapnya sambil mengatur napas.

Ia menatap Arsen sebal. "Kempes."

Arsen terkekeh. Kasihan sekali gadis manis ini jadi harus membiarkan pakaiannya kusut karena sibuk berlari tadi.

"Terus, kenapa gak naik ojek online?"

Caitlin mematung. "Iya juga, ya. Kok gue gak kepikiran, sih!" Caitlin sebal sendiri, begini jika ia panik duluan.

Arsen menoleh sekilas. "Kayaknya lo lagi ada masalah, ya?" tebak Arsen.

Caitlin memincingkan alisnya. "Kata siapa?" Caitlin bertanya heran. Apa wajahnya terlihat seperti orang yang sedang banyak masalah?

Arsen mengangkat bahu. "Cuma nebak."

Caitlin mengembuskan napas lega. Ia kira, wajah cantiknya akan tertutupi dengan masalah yang masih berputar-putar di kepalanya ini.

Arsen tergelak. Seakan bisa menebak apa yang ada di kepala teman perempuannya ini. "Lo masih tetep cantik, kok." Arsen menoleh ketika mobilnya terhenti. "Walaupun habis lari-lari kaya tadi."

Caitlin menyipitkan matanya. Dengan malas ia membuka pintu mobil Arsen. "Thanks." Ia menutup pintu mobil Arsen dan bergegas masuk ke kelas.

Dasar Arsen menyebalkan.

Caitlin lalu berkutat dengan diktat. Sia-sia ia berlari pagi ini, meskipun bagus untuk kesehatan fisik, tetapi tetap saja membuatnya sebal karena kini ia kegerahan.

Entah sudah halaman keberapa yang ia baca, rasanya semua tulisan di depannya belum cukup untuk membantunya menemukan sesuatu yang ia cari.

Pengalihan. Itu yang ia butuhkan saat ini.

Terkait kepergian Feradnan ke Jakarta kemarin, sebenarnya itu sama sekali tak bermasalah untuknya. Namun ada satu hal yang cukup membuatnya terganggu.

Ia menepuk bahu Rara yang sedang memasang earphone di telinganya. Gadis tersebut membuka benda itu dan menghadap Caitlin serius.

"Ada apa?" Rara bertanya heran.

Caitlin menunjukkan ponselnya. Bilah notifikasi yang belum ia jamah sejak kemarin.

(@feradnan.arsh) @najlavalency :
Besok, kamu jadi ke Jakarta? Aku kangen.

Rara menggigit bibir, ia takut salah bicara.

"Ra, menurut lo, ini siapa?" Caitlin menatap gadis di sampingnya dengan penuh tanya.

Rara mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Instagramnya. Ia mencari profile yang Caitlin tunjukkan.

Profilenya berisi perempuan cantik. Kulitnya langsat, wajahnya memiliki irisan khas orang timur. Bibirnya mungil, rambutnya hitam sepinggang.

Caitlin menangkap definisi perempuan yang ... nyaris sempurna.

Sorot matanya gelap, yang ia lihat membuatnya tersenyum sendu. Pantas. Dibandingkan dengannya, perempuan itu lebih menarik.

Rara menggenggam bahu Caitlin. "Cait, mending lo tanyain sama Adnan. Supaya gak salah paham."

Caitlin menggelengkan kepalanya. "Nggak, Ra. Ada baiknya gue pura-pura gak tahu. Soalnya, kalau Adnan sampe tahu, dia bakal main rapi."

Rara mengangkat alisnya. "Lo berpikiran kalo Adnan selingkuh?" Rara bertanya memastikan.

Caitlin mengangkat bahu. "Siapa tahu, 'kan?" Caitlin memejamkan matanya. "Laki-laki itu sukanya ngasih kejutan, kali aja dia ngelamar gue kemarin tapi karena gue tolak dia jadi balik ke selingkuhannya."

Rara berdecak. "Kebiasaan, deh. Lo tuh negative thinkingnya tinggi, Cait. Seharusnya lo bisa lebih percaya."

Caitlin membuka matanya, ia menatap Rara serius. "Gue percaya sama Adnan, makanya gue gak harus sampe tanya sama dia soal ini."

Bibirnya menyunggingkan senyum manis. "Yang gue harus lakuin sekarang itu, cukup cari tahu. Kita gak pernah tahu apa yang ada di kepala laki-laki, 'kan?"

Gadis di sampingnya mengangguk setuju. Dipikir-pikir, jika benar Adnan selingkuh, pertengkaran hanya akan membuang tenaga. Ngaku nggak, capek iya.

Rara memperhatikan kantung mata Caitlin, sepertinya tadi malam gadis itu kurang tidur. Jika hanya sebatas tugas dirinya tak mungkin memiliki wajah kusut begini. Caitlin itu ambisius.

"Jujur, deh. Pasti tadi malem lo mikirin soal ini, 'kan?" Rara memberanikan diri bertanya.

Anggukan kepala terlihat dari lawan bicaranya. Caitlin tidak gengsi mengaku ternyata.

"Kenapa?" Caitlin menatap Rara heran. Apanya yang kenapa?

Rara berdecak. "Kenapa lo pikirin?"

Caitlin terkekeh. "Gue emang jarang nujukin perhatian ke Adnan, ngaku suka juga gak terlalu sering. Tapi, bukan berarti gue gak peduli, Ra."

Rara menganggukkan kepalanya. "Kaya lo liat LV mejeng di etalase, lo lewat gitu aja bukan berarti lo gak tertarik, tapi karena bukan kelas lo." Caitlin melanjutkan ucapannya barusan.

Tak paham, Rara mengangkat alisnya. Mau Caitlin bawa ke mana percakapan ini?

"Bukan kelas lo buat ngaku suka duluan?"

Caitlin tergelak. Namun kemudian tawanya berganti menjadi senyuman miring ketika menyadari jika pertanyaan Rara itu ada benarnya juga.

Rara memincingkan matanya, Caitlin terlalu tinggi gengsi.

Baru saja Rara berniat menimpali, suara di belakang mereka membuat keduanya terdiam.

Dosen kesayangan Caitlin telat dua puluh menit. Bagus sekali.

Penta Toxic (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang