Prolog

223 70 86
                                    

“ⓒⓞⓕⓕⓔⓔ ⓗⓞⓤⓢⓔ” begitulah nama yang kuberi untuk kedai kecilku yang sudah berdiri selama 5 tahun lamanya.

Aku mendirikan kedai ini bersama-sama dengan adikku, semenjak kedua orang tua kami meninggal dalam sebuah kecelakaan kami belajar untuk mandiri, bertahan hidup dan ber-ketergantungan dengan kedai kecil ini.

Hanya ada beberapa menu yang tertulis dipapan menu kedai kami. Kopi, teh, coklat panas, pie coklat, apel, keju dan juga pasta. Sederhana memang, namun karna hanya itu saja yang dapat adikku dan aku buat.

Kalian pasti heran bagaimana bisa aku dan adikku membangun sebuah kedai? Bermodalkan dari mana?

Dulu aku berasal dari keluarga yang cukup mapan, ayahku memiliki perusahaan besar, yang sejak ia meninggal perusahaan itu bangkrut dan hutang mulai bermunculan. Akhirnya rumahku yang berharga berkisar sampai 900 juta rupiah pun terkena imbasnya, rumah besar itu disita oleh bank untuk menutupi semua hutang ayahku. Aku marah dan aku merasa tidak berguna saat itu.

Namun untungnya aku bukanlah tipe orang yang suka menghambur-hamburkan uang orang tua seperti adikku, hingga aku punya tabungan yang mencapai 50 juta lebih. Namun ternyata 900 juta belum cukup untuk menutupi hutang ayahku.

Aku berfikir "Oh god. Sebanyak itu kah hutang yang ditinggalkannya sebagai ujian untukku?" Namun aku bisa sedikit bernafas lega karna tidak semua tabunganku habis diambil oleh pihak bank. Walaupun hanya tersisa 30 juta yang awalnya aku fikir itu sangat sedikit namun aku bisa mengakali dan mengatasinya.

Aku dan adikku hijrah ke rumah paman dan bibi ku yang cukup jauh dari Jakarta. Mereka pun termasuk orang yang berada makanya aku memilih untuk meminta bantuan kepada mereka.

Mereka membuat 2 pilihan untuk kami, pertama ia menawarkan kami untuk tinggal dirumahnya yang cukup besar yang hanya mereka berdua saja yang menghuni karna memang setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
Pilihan kedua yang kami miliki adalah, kami boleh meminta apapun yang kami mau dari mereka, asalkan dengan satu syarat. Aku dan adikku harus menganggap mereka berdua sebagai orang tua baru kami.

Adikku memohon kepada ku agar aku memilih pilihan yang pertama, namun aku menolak. Aku lebih ingin menjadi mandiri tanpa berketergantungan dengan siapapun.

Akhirnya paman memaksaku untuk bilang apa keinginanku, dengan mantap aku menjawab kalau aku ingin memiliki kios kecil di pinggiran kota Jakarta. Karna dulu aku sudah memiliki mimpi dengan beberapa teman-temanku kalau kita akan membuat sebuah mini caffe.

Adikku marah dan tetap keukeuh ingin memilih pilihan yang pertama. Namun aku tidak mau kalah, aku bilang kalau dia tetap tidak mau ikut denganku aku tidak keberatan. Aku bisa bekerja sendiri. Tetapi dia berubah fikiran karna tidak tega membuat aku sendirian di Jakarta. Dengan lapang dada ia ikut denganku.

Akhirnya paman membelikanku kios kecil tepat dipinggir jalan keramaian kota Jakarta. Kebetulan kios itu berupa ruko kecil, jadi aku tidak perlu lagi repot mencari kontrakan lagi.

Oh iya. Apakah aku melupakan sesuatu? Aku belum memperkenalkan namaku bukan? Ah maaf aku jadi mengoceh panjang lebar.
Namaku Annisa Mashel Nazafarin Dan adikku bernama Hanifa Mashel Nazafarin. Jarak usiaku dengan Hanifa tidak terlalu jauh, hanya 1 tahun.

Tentang kedai kami. Aku memiliki satu pelanggan yang setia dan dia adalah seorang pria. Sangat setia sampai aku lupa kapan terakhir kali aku tidak melihatnya sepanjang hari didalam Kedai ku. Ia selalu datang menjelang matahari terbenam, padahal pukul 18.00 aku tutup untuk beristirahat hingga buka kembali pukul 20.00 malam.

Sepertinya ia tidak memperdulikan hal itu.Dia selalu memesan secangkir kopi susu dan juga pie mini berperisa coklat. Dia sangat aneh. Tak pernah sekali pun ia berbicara pada ku.

Dan juga ia selalu berseru-seru tanpa henti menyebut tanggal 26 Agustus dengan ekspresi wajah seperti orang ketakutan dan pucat pasi.

Aku tidak tahu mengapa ia selalu berseru seperti itu, namun aku pernah sesekali merasa kalau itu ada kaitannya dengan kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku.

Aku selalu berusaha untuk mengajaknya berbicara namun ia selalu mengacuhkan ku. Yang membuatku sedikit sebal dengannya adalah, selama ini dia selalu mengunjungi dan memilih menu yang sama dikedai ku tetapi tidak pernah membayarnya.

Dan akhirnya selalu aku yang menutupi semua hutang-hutangnya itu. Aku benar-benar tidak mengerti ada apa sebenarnya dengan orang itu. Namun karna keanehannya itulah aku semakin dibuat penasaran akan sosok dirinya yang sebenarnya.

  ______________________________________

Tegal, 17 Mei 2017

Coffee Love Story ♥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang