Tiga

80 43 27
                                    

Ini sama seperti saat ia memeluk istrinya dulu. Rasa itu kembali ia dapatkan selama 3 tahun lamanya ia tidak merasakan pelukan sang istri lagi. Namun mengapa? Mengapa perasaan itu ia dapatkan dari Anisa? Dan mengapa Rafa sudah tidak pernah merasakan pelukan dari istrinya lagi? Selama 3 tahun lagi. Sebenarnya ada apa ini?

"Eung Rafa, aku rasa sudah cukup." Ucap Anisa yang membuyarkan lamunan Rafa tentang istrinya.

Rafa hampir lupa yang ia peluk bukanlah istrinya melainkan hanya seorang gadis pelayan yang setiap hari menyediakan nya kopi dan pie coklat.

"Maafkan aku, aku hanya membayangkan sesuatu saat aku memelukmu."

"Kau membayangkan apa?" Tanya Anisa penasaran.

"Itu bukan urusan mu," Anisa menekuk wajahnya sebal.

"Makasih untuk pelukannya. Kopi dan pie nya juga."

"Enak saja kopi dan pie tetap aku masukkan ke daftar hutangmu wle." Rafa menggeleng kecil lalu bergegas pergi meninggalkan cafe Anisa.

"Hey tunggu sebentar." Rafa membalikkan tubuhnya agar bisa bertatap muka langsung dengan Anisa.

"Ada apa?""Aku minta maaf ya? Aku sangat menyesal atas kejadian kemarin. Habisnya aku belum pernah bertemu dengan orang seperti mu." Ucap Anisa menunduk.

"Yang mana ya?"

"Kau tidak ingat? Kemarin kan aku membentak mu sampai membuat mu meringkuk ketakutan. Aku menyesal sekali seharusnya aku tidak membentakmu seperti kemarin, aku minta maaf ya?"

"Aku sudah melupakannya karna hari ini otak ku sudah benar-benar penuh dengan masa depan orang-orang yang aku temui dijalan yang hampir membuatku menjadi gila. Makanya aku sudah melupakan hal-hal yang terjadi kemarin."

"Tapi aku tetap ingin meminta maaf padamu, maafkan aku ya?"

"Baiklah, sudah? Tidak ada yang ingin dibicarakan lagi?" Anisa tersenyum tipis dan menggeleng kecil.

"Yasudah kalau begitu aku pulang dulu, oh iya besok kau akan mendapat pelanggan yang banyak, jadi persiapkan dirimu ya agar tidak kelelahan. Sampai jumpa."

"Haaaaa!" Anisa berteriak dengan volume sekecil mungkin, ia sangat bahagia mendengar ucapan Rafa tadi. Semoga pria itu benar.

∆∆∆∆∆

"Akuh-akuh lelah sekali kak." Anisa tersenyum saat melihat semua kursi cafe nya terisi penuh, bahkan orang-orang diluar yang tidak kebagian tempat rela makan atau minum sambil berdiri.

"Hey-hey! Siap-siap Karina, ada beberapa orang lagi yang menuju kesini. Tersenyumlah dan sambut mereka dengan hangat. Aku akan membuat adonan pie lebih banyak lagi. Kau layani ya."

"Haa? Aku lagi? Tapi aku sudah tidak kuat kak."

"Hey! Ingat? Jangan mengeluh tapi bersyukur, selamat bekerja." Anisa meninggalkan Karina sendirian.

"Ya ampun, kau siksa saja aku terus kak."..

"Hari ini kita mendapat masukan yang jauh lebih banyak daripada kemarin-kemarin." Ucap Anisa senang.

"Coba saja kalau setiap hari terus begini, pasti aku tidak akan berfikir lagi kalau mau memasukkan kau di kampusmu yang dulu."

"Dan kita bisa membangun kedai ini menjadi jauh lebih besar lagi dan menunya pun bertambah menjadi banyak."

"Hhmm atau setelah kedai ini diperbesar kita bisa mencari 2 karyawan untuk membantu kita agar kita tidak kewalahan lagi seperti ini."

"Hanifa mengapa kau diam saja? Bantulah aku menghitung semua uang ini, biasanya kan kau yang membantuku bagaimana caranya mengatur uang."

Anisa mulai malas karna selama ia mengoceh Hanifa hanya diam tidak berkata apapun.

"Aduhaiii, tidur rupanya pantas diam saja Ckckck." Anisa menaruh uang yang ia pegang diatas meja dan mulai menggoyang-goyangkan bahu Hanifa.

"Hanifa bangun sebentar lagi sudah mau maghrib, pamali tidur maghrib-maghribseperti ini. Hey." Hanifa mengerang panjang dan mengucek-ngucek matanya,

"Maaf ya soalnya aku lelah dan ngantuk sekali kak. Rasanya aku tidak sanggup bekerja sampai tutup pukul 9 lagi deh kak."

"Hmmm bagaimana ya, tapi kata Rafa seharian ini kita akan memiliki banyak pelanggan. Jadi kemungkinan besar nanti malam kita akan memiliki uang yang lebih banyak lagi Fa. Ayolah."

"Tapi aku sudah tidak kuat lagi kak, maafkan aku."

"Tapi Hanifa kita tidak boleh-"

Anisa menatap wajah Hanifa yang sudah memucat, ia jadi tidak tega melihatnya. Kalau dia terus memaksakan bukan tidak mungkin Hanifa akan lebih parah dari ini.

"Yasudah-yasudah mari aku antar kau kedalam, akan ku masakkan air panas untuk kau mandi dan habis itu kita sholat berjamaah ya."

Hanifa hanya mampu menganggukkan kepalanya, karna kalau ia menjawab dengan kata-kata mungkin percuma saja karna terdengar terlalu lirih.

'Hmmm jam segini Rafa tak kunjung datang juga, padahal tadi aku sengaja tidak mengunci pintu agar dia bisa langsung masuk, tapi selama aku mandi dan sholat berjamaah dengan Karina suara lonceng dari atas pintu itu tak kunjung berbunyi.' Batin Anisa yang mulai resah menanti kehadiran Rafa.

"Kau menunggu ku?" Anisa sedikit tersentak saat mendengar suara yang sudah familiar ditelinganya.

"Kau? Mengapa aku tidak mendengar lonceng pintu? Atau jangan-jangan kau menembus pintu itu ya?"

"Lancang sekali. Kau fikir aku hantu? Bagaimana kau mau dengar suara lonceng, cafe ini saja sangat ramai dan bising ditambah lagi kau hanya melamun dan memandangi apapun yang ada diluar jendela." Ucap Rafa, pria itu membuka mantel nya dan langsung duduk dihadapan Anisa.

"Bisa kah kau membuatkanku kopi susu dan pie coklat ukuran kecil? Aku butuh kehangatan dan perutku perlu diisi."

"Baiklah akan kubuatkan tunggu ya."

Tiba-tiba Rafa merasakan pusing luar biasa dikepalanya. Kejadian 3 tahun silam kembali terputar jelas di memori otaknya.

"D- puluh ennam duaaa aaagustuss..." lirihnya seraya terus meremas kepalanya yang terasa makin sakit.

"D- puluh ennam duaaa aaagustuss.. D- puluh ennam duaaa aaagustuss.."

Kebiasaan lamanya kembali lagi, mulutnya kembali bergumam 26 Agustus terus menerus dengan ekspresi sedih, ketakutan, cemas dan khawatir.

"A-aarrggghhh" Rafa mengerang-erang kecil karna sudah tidak tahan menahan sakit dikepalanya.

"Rafa kau kenapa? Kenapa kamu meremas-remas rambutmu seperti itu?"

"26 Agustus.. 26 Agustus.. 26 Agustus.." Rafa terus berseru seperti itu tanpa henti.

"A-apa kau sakit kepala? Jawab aku Rafa,"

"26 Agustus.. 26 Agustus.." Anisa berdecak lidah, seluruh pasang mata pelanggan yang ada di kedai Anisa tertuju kepada Rafa dan Anisa.

"Baiklah ayo aku ikut aku ke dalam, akan aku beri kau obat pereda sakit kepala. Semoga masih ada stok nya." Anisa menaruh lengan Rafa di pundaknya dan membantu pria itu berjalan.

"Kau tunggu sini, akan ku carikan obat." Anisa langsung menuju kamar Hanifa dan mengambil obat sakit kepala lalu membuatkan Rafa air hangat.

Beberapa menit kemudian Anisa kembali masuk ke kamarnya dengan membawakan Rafa segelas air hangat dan sebutir pil.

"Ini diminum dulu obatnya biar kepala kamu sakitnya sedikit berkurang." Rafa langsung menelan pil tersebut dibantu dengan air hangat yang ia minum.

"Sebenarnya kau ini kenapa sih Rafa? Kau sakit apa?" Rafa hanya menggeleng-geleng, kini matanya terlihat melotot entah tertuju pada apa yang jelas sikapnya kembali aneh lagi.

"Aku paham kenapa kau begini. Kalau begitu kau ku izinkan istirahat sejenak dikamarku ini sampai kepalamu benar-benar pulih dan kau bisa melanjutkan aktifitas mu lagi. Kalau begitu aku keluar dulu ya, mungkin ada pelanggan yang butuh bantuan ku. Anggap saja rumah sendiri."

Rafa mencekal pergelangan Anisa menahan langkah gadis itu untuk meninggalkannya.

"Jangan! Jangan pergi." Ucapnya dengan suara lirih.

Coffee Love Story ♥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang