Faya menguap kemudian mengucek matanya malas. Ia mengerjapkan matanya berulangkali untuk memastikan dirinya tidur di kamar. Kemudian, wajahnya menoleh ke arah jam dinding di kamarnya. Masih pukul empat pagi. Sejenak, ia melihat jam dinding itu apakah jarum jamnya masih berputar. Masih. Ia tidak ingin kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali.
Semalam Rhea mengantarnya pulang. Meskipun tidak ada kejadian buruk yang menimpa Faya lagi, Rhea tetap saja ngotot untuk mengantarnya sampai rumah. Padahal ia bisa saja pulang bersama Fandi.
Faya menyibakkan selimutnya lalu turun dari ranjang. Ia meraih gagang pintu lalu membukanya. Faya berjalan terseok karena belum sepenuhnya terjaga. Kakinya berulang kali menyandung kaki meja. Bahkan guci di rumahnya hampir saja pecah karena langkahnya.
Sesaat kemudian, ia berdiri di depan pintu kamar kakanya lalu mengusap-usap pintu, mencari letak kenopnya.
"Buka dulu matanya, Fay!" Ucap mamanya yang sudah lebih dulu bangun.
Faya sudah menemukan kenop pintu. Ia menariknya dan masuk ke dalam kamar Fahri, "bangun, bang!" Ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fahri yang sepenuhnya terbalut selimut. Fahri hanya menggerang lalu tertidur kembali.
Faya menarik selimutnya lalu berteriak tepat di telinga Fahri membuat gendang telinganya terasa berdengung. Faya berdecak lidah karena kesal usahanya tidak berhasil. Fahri menutup wajah dan telinganya dengan bantal.
"Abangggg.... bangunnnn!!!" Teriaknya kembali. Kali ini usahanya berhasil meskipun harus menerima timpukan bantal.
"Di kampus abang ada orang yang namanya Titan nggak?"
"Banyak." Jawabnya masih antara sadar dan tidak sadar. Matanya kembali menutup berharap bisa kembali tidur.
"Dia memakai earphone dan membawa beberapa buku. Dilihat dari gayanya, dia seperti seorang mahasiswa," tutur Faya.
"Kamu hidup di zaman kapan? Itu gaya anak muda sekarang!"
Faya sejenak berfikir, apa ciri-ciri Titan yang paling menonjol. Dia tinggi, matanya hitam, rambutnya cepak, hidungnya biasa cenderung mancung. Tidak ada yang berbeda. Bahkan jika dia memang sering berkelahi, ia tidak memiliki bekas luka yang terlihat.
"Siapa nama panjangnya?"
Faya menggeleng, tapi Fahri tidak melihat karena dia masih memejamkan matanya, "Mungkin nama keluarganya Atmaja," itu hanya perkiraannya saja.
Tiba-tiba saja ide brilian muncul di otaknya. Faya berlari menuruni tangga dan membuka pintu menuju halaman rumahnya.
Udara pagi masih dingin. Cahaya matahari pun belum tampak. Faya berlari sambil membenarkan alas kakinya karena terlalu buru-buru.
Ia sudah melewati tiga rumah di Kompleks Griya Amphernia. Sekarang ia tiba di rumah bercat abu-abu muda. Ia mengetuk pintu hingga sendi jari bagian tenganhnya memerah. Faya sudah melanggar janjinya untuk tidak kembali ke rumah itu.
Faya memencet belnya berulang kali. Satu tangannya terlipat di depan dada efek kedingian yang ia alami.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Munculah orang dari dalam. Cowok itu masih belum sepenuhnya sadar dengan muka bantalnya.
Faya hampir tidak percaya Fandi akan bangun sepagi ini. Padahal ia baru saja berfikir Fandi tidak akan melihat matahari terbit setelah mendapatkan lemparan bola bisbol sempurnanya. (Maksudnya dia akan bangun siang hari setelah matahari tepat di ubun-ubun).
Fandi lebih tidak percaya akan mendapatkan tamu sepagi ini. Ia hampir saja menutup pintunya kembali, takut akan terjadi insiden berikutnya. Faya mencegahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berandal Buana [END]
ActionDO YOU REALLY KNOW ME? "Aku hanya ingin hidup dalam kehidupanku. Aku ingin semuanya kembali seperti semula. Aku hanya ingin berhenti berpura-pura." "Aku musuhnya. Aku hanya ingin membuatnya patuh dengan perintahku, menunduk di depanku, bahkan berlut...