Bagian 14

707 40 0
                                    

Jalanan sore itu sangat sepi. Hampir tidak ada seorang pun yang melewati tempat itu.

Aliran darahnya seakan berhenti ketika ia dihadang oleh beberapa preman sekaligus. Preman berbadan besar dan berkumis tebal. Wajahnya penuh dengan bekas-bekas luka.

Faya berbalik dan mulai berjalan cepat. Ia sudah berulang kali menengok kebelakang. Mereka memang mengikutinya. Semakin lama langkahnya semakin cepat. Semakin lama pula orang-orang di belakangnya juga semakin mendekatinya. Hanya beberapa detik kemudian, Faya sudah dihadang oleh rombongan dari depan. Ia sudah tidak bisa berkutik lagi. Hampir sepuluh orang mengepungnya.

“Sino, kita tangkap gadis ini sekarang?”
Orang itu tidak menjawab. Ia hanya menaikan sebelah bibirnya. Senyum yang sangat jelek dan mengerikan.

“Siapa kalian! Jangan berani macam-macam ya!” ancam Faya.

“Jadi, kamu sudah tahu bukan Rhea pelakunya?” tanya orang yang bernama Sino dengan datar.

“Kalian orang itu?! Siapa yang menyuruhmu?” tanya Faya gemetaran.

“Kami hanya membantu orang untuk membalaskan dendamnya,” ucapnya sinis. Sino terus berjalan maju mendekatinya. Anak buahnya juga menyusulnya.

Dalam kegentingan itu ia sudah tidak bisa bergerak kemana pun. Namun ada seorang yang ia kenali dalam rombongan itu. Ia tak tahu dengan jelas. Tapi ia yakin, selama beberapa hari ini, orang itu selalu mengintaunya. Ia sudah berulang kali menemuinya, tapi ia lupa siapa orang itu.

Faya mengerutkan dahinya dan melihat ke arah lelaki misterius itu. Ia berada dalam barisan belakang. Setelah itu ia mendengar bunyi keributan dari  luar. Hal itu membuat orang-orang yang mengepungnya menoleh.  Mereka berbaris seperti sedang menghadang musuhnya. Faya menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri.

Faya tak melarikan diri. Ia hanya bersembunyi di balik drum besar yang agak jauh dari tempat keributan itu.
Dari tempatnya bersembunyi, ia melihat orang misterius itu berjalan dan bersembunyi di balik semak-semak kemudian menghilang.

“Apa dia orang yang selalu bersama Rhea?” bisiknya lirih dan tak terdengar.

Sudah lebih dari satu minggu Rhea keluar dari rumah sakit. Bukannya dia beristirahat, Rhea justru memimpin anak buahnya mengahadang Sino. Sekarang ia dapat melihat dengan jelas cara Rhea berjalan. Ia terlihat pincang. Faya sudah melihat hal itu sejak ia bertemu dengan Rhea, tetapi sekarang, ia jauh lebih kelihatan.

“Rhea?! Anak kecil ini ternyata sudah sembuh!” ucap Sino sambil meludah.

“Jangan sakiti dia! Kalian nggak ada urusannya sama cewek itu! Jangan pernah sekali pun menyentuh dia, Sino!” bentak Rhea.

Sino mengalihkan pandangannya, “Siapa gadis itu? Kenapa aku harus mengasihinya?”

“Sino, urusan lo cuma sama geng kita. Bukan sama murid Citra Buana!” gertak Fandi.

“Gadis itu sudah menyaingi atasanku, jadi kita harus segera melenyapkannya, HAHAHA” tawanya nyalang.

"Siapa orang yang menyuruhmu? Bosmu itu Sukonto!" Teriak Rhea.

Faya menajamkan pendengarannya. Jika Sino menjawab maka ia akan tahu siapa orang yang telah mengiriminya surat kaleng itu. Jika dia mengelak maka sepertinya akan ada perkelahian besar yang akan terjadi. Fisik Rhea sedang tidak baik saat ini. Jika Rhea nekad untuk berkelahi, maka ia bisa saja akan terluka lebih parah lagi.

Dengan tangan yang masih bergetar hebat, ia mengambil ponselnya dari sakunya kemudian menelpon polisi. Ia sudah menyiapkan nomor itu jika memang ada sesuatu yang tidak baik terjadi. Ia sudah mengetahui bahaya kini sedang mengintainya dan para berandalan itu. Seburuk apa pun Rhea dan gengnya ia memiliki hutang budi yang harus segera ia bayar.

Berandal Buana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang