Bagian 10

841 41 0
                                    

Faya membuka buku pelajaran. Tapi ia melihat sesuatu dari tumpukan bukunya. Itu seperti buku catatan lusuh. Bukan miliknya, tapi milik Rhea.

"Kasihan Rhea. Dia harus berpisah dengan orang tuanya saat kelas 4 SD. Dia harus berjuang sendiri," desisnya.

Tahun 2008, aku juga punya kenangan buruk di tahun itu. Pikirnya.

Meski rasa malas menjalar ke seluruh tubuhnya, Faya masih menyempatkan mengulangi pelajaran tiap malam. Setidaknya ia menguasai satu persatu pelajaran karena di sekolah ia tidak pernah fokus. Ia merasa akhir-akhir ini ia selalu dihadapkan dengan banyak sekali masalah yang menimpanya.

Ujung matanya kembali tertuju di buku catatan Rhea itu. Entah kenapa, buku lusuh itu lebih menarik dibandingkan buku-buku pelajarannya yang masih utuh.

Ia membuka setiap lembar kertas yang sudah berubah warna kecoklatan itu. Tulisannya tidak lebih baik dari murid SD. Faya membuka lembaran bergambar, kemudian membalik lagi. Faya tersenyum tipis. Mungkin ia tidak menyadarinya.

"Ternyata dia memang pandai menggambar," ucapnya pelan sambil membalik lembaran berikutnya.

Aku hanya ingin hidup dalam kehidupanku. Aku ingin semuanya kembali seperti semula. Keluargaku kembali dan kematian Satria terungkap.


Malam itu, Satria mendatangiku. Dia ingin mengatakan sesuatu. 'Sesuatu' itu mungkin tentang istri Sukonto. Dia ingin meminta tolong kepadaku. Bodohnya, dia justru menolongku saat aku dikeroyok. Dia lebih mementingkan urusanku dibandingkan urusannya. Bahkan sampai dia ditemukan tewas, dia tidak menceritakan apapun.

"Satria--meninggal? Kenapa? Apa hubungannya dengan Sukonto dan istrinya?" Segala pertanyaan muncul dari otaknya, "Satria mungkin teman baik Rhea." hanya itu yang dapat Faya simpulkan.

Faya menengok ke arah jam meja di samping tangannya. Masih belum terlalu malam, namun rasa kantuk sudah menguasai dirinya.

Faya memandang ke luar jendela. Ia melihat sebuah mobil masuk ke dalam gerbang kemudian hilang setelah masuk ke garasi.

Baru beberapa hari ini ia merasakan ada yang kurang tanpa kehadiran ayahnya. Ia harus menyelesaikan surat pemindahan tugas dan laporan-laporan lainnya. Tapi ia yakin setelah ini, ayahnya akan bekerja seperti biasanya.

Faya menutup bukunya kemudian keluar dari kamarnya. Ia menyambut kehadiran ayahnya, masih sama ketika ia masih TK. Yang berbeda hanyalah, dulu ayahnya sering membawakannya hadiah mainan atau sejenisnya, tapi sekarang tak lagi. Hanya sesekali, ayahnya membelikannya novel baru. Sampai saat ini, ia masih merasakan kehangatan dan kehadiran orang tuanya. Ia tak tahu apa yang akan  terjadi jika mereka tak lagi memperdulikan. Mungkin ia akan anak yang kurang perhatian. Jika sudah seperti itu, ia akan masuk kedalam pergaulan yang gak jelas. Dan dari situ mungkin ia akan menjadi anak yang bisa di bilang seorang berandalan.

“Ayah, baru pulang, yah?” ucap Fahri. Ia baru saja mengalihkan pandangannya setelah cukup lama terfokus pada adegan di televisi yang ditontonnya. Mungkin, malam ini ia merasa bebas karena ia menguasai sepenuhnya tv di rumahnya.

“Iya bang, kerjaan ayah banyak banget.” Ucap ayah yang duduk di samping Fahri. Ia meletakkan tas kerjanya di sampingnya, kemudian mamanya datang mengendurkan dasi yang masih melekat di kemejanya.

Faya masih berdiri di atas tangga. Ia tak ingin mengulangi kecerobohannya dulu. karena ia terlalu bersemangat, Faya terpeleset di tangga rumahnya. Sampai saat ini pun, ia masih trauma dengan kejadian itu. Setelah cukup lama menyaksikan kehangatan itu, Faya duduk menghampiri ayahnya.

“Yah, kapan kita keluar bareng? Udah lama kita nggak jalan-jalan,” rengek Faya seperti anak kecil.

“Sekarang aja. Ini kan belum terlalu malam,” saran Fahri.

Berandal Buana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang